Ibn Rusdy

Di dunia Islam, filsafat telah melalui berbagai macam periode. Perjalanan filsafat
Islam telah dimulai secara resmi di abad ke-2 dan 3 Hijriyah, berbarengan dengan penerjemahan karya-karya pemikir Yunani. Sebelumnya sekalipun kajian teologi cukup di gandrungi, namun filsafat tidak memiliki posisi tersendiri. Filsafat Islam merupakan salah satu bidang ilmu yang membuat perdebatan sejak awal kemunculannya. Selain itu, filsafat juga dianggap sebagai bidang ilmu yang menjadi biang kerok pemecah belah umat. Akan tetapi disisi lain filsafat dianggap mampu mengangkat harkat dan martabat kemanusiaan.

Namun dengan kemunculan Ibnu Rusyd, yang merupakan salah satu tokoh filosof muslim yang hebat yang mana senantiasa berusaha untuk mengharmoniskan antara filsafat dengan agama. Pemikiran Ibnu Rusyd terlihat ketika terjadi polemik antara ia dengan Imam Al-Ghozali. Ketidak sepakatan Al-Ghozali terhadap pemikiran Ibnu Rusyd, hingga Al-Ghozali mengkafirkan para filosof muslim. Ibnu Rusyd menegaskan bahwa agama dan filsafat tidak berada dalam titik pertentangan. Pada hakikatnya filsafat berpikir tentang segala hal untuk diketahui. Al-Qur’an memerintahkan manusia untuk berpikir tentang alam dalam rangka mengetahui Tuhan.


RUMUSAN MASALAH

Dari latar belakang di atas maka untuk memudahkan dalam pembahasan makalah ini dapat dirumuskan masalah yang akan dibahas sebagai berikut:
a. Siapakah Ibnu Rusyd itu? Dan bagaimana latar belakang kehidupannya?
b. Apa saja karya-karya Ibnu Rusyd itu?
c. Bagaimanakah pemikiran filsafat Ibnu Rusyd?


BIOGRAFI DAN LATAR BELAKANG KEHIDUPAN TOKOH

Nama lengkap Ibnu Rusyd adalah Abul Walid Muhammad bin Ahmad Ibnu Rusyd, dia lahir di Cordova pada tahun 520 H atau 1126 M. Ia berasal dari keluarga yang terkenal dengan keutamaan dan mempunyai kedudukan tinggi di Andalusia (Spanyol). Ayahnya adalah seorang hakim, dan neneknya yang terkenal dengan sebutan “Ibnu Rusyd Nenek“ (Al- Jadd) adalah kepala hakim di Cordova.

Ia belajar ilmu fiqih, ilmu pasti dan ilmu kedokteran di Seville, kemudian berhenti dan pulang ke Cordova untuk melakukan studi, penelitian, membaca buku-buku dan menulis. Kegemarannya terhadap ilmu sukar dicari bandingannya, karena menurut riwayat sejak kecil sampai tua, ia tidak pernah terputus membaca, kecuali pada malam ayahnya meninggal dan pada malam perkawinan dirinya. Di antara ilmu-ilmu yang telah dipelajari, dia senang sekali mengulas dan meringkas filsafat Aristoteles hingga ia dikenal sebagai ”Pengulas Filsafat Aristoteles” (The Famous Comentator of Aristoteles), suatu gelar yang diberikan oleh Dante Alagieri (1265-1321 M) dalam bukunya Divina Commedia (Komedi Ketuhanan). Gelar ini memang tepat untuknya, karena pemikiran-pemikirannya mencerminkan usaha yang keras untuk mengembalikan pemikiran Aristoteles kepada kemurnianya yang semula.

Pada mulanya Ibnu Rusyd mendapat kedudukan yang terbaik dari khalifah Abu Yusuf Al-Mansyur (masa kekuasaan 1184-1198 M), sehingga pada waktu itu Ibnu Rusyd menjadi raja semua pikiran, tidak ada pendapat kecuali pendapatnya. Ketika ia difitnah dan dituduh telah keluar dari Islam, kemudian ia dikurung dikampung Yahudi. Yang mana tuduhan tersebut dilontarkan oleh golongan penentang filsafat, yaitu para fuqoha pada masanya.

Setelah beberapa orang terkemuka dapat meyakinkan Al-Mansyur tentang kebersihan Ibnu Rusyd dari fitnahan dan tuduhan tersebut, maka ia baru dibebaskan. Akan tetapi, tidak lama kemudian fitnahan dan tuduhan dilemparkan lagi. Pada diri Ibnu Rusyd dan termakan pula, sebagai akibatnya pada kali ini dia diasingkan ke negeri Maghribi (Maroko), buku-buku karanganya dibakar dan ilmu filsafat tidak boleh dipelajari. Sejak saat itu murid-muridnya bubar dan tidak berani lagi menyebut namanya. Ibnu Rusyd meninggal pada tanggal 9 shofar 595 H/ 11 Desember 1198 M di Marakhesh pada usia 75 tahun.

KARYA-KARYA IBNU RUSYD

Ibnu Rusyd menulis dalam banyak bidang diantaranya: Ilmu fiqih, Filsafat, Kedokteran, Politik dan lain-lain, tidak kurang dari sepuluh ribu lembar yang telah ditulisnya buku-bukunya adakalanya merupakan karangan sendiri, ulasan-ulasan atau ringkasan. Sebenarnya karya-karyanya yang paling besar dan berpenngaruh di Barat yang dikenal dengan Avveroisme adalah komentar atas karya-karyanya Aristoteles, bukan saja dalam bidang filsafat juga dalam bidang ilmu jiwa, fisika, logika, dan akhlak.

Hampir semua karya-karyanya Ibnu Rusyd diterjemahkan dalam bahasa Latin dan Ibrani (Yahudi) sehingga karyanya sulit ditemukan dan yang masih bisa ditemukan, yakni:
A. Bidayah Al-Mujtahid wa Nihayah Al-Muqtasid fi al-fiqih, berisi tentang uraian-uraian dibidang fiqh.
B. Kutab Al-kuliyat fi at-Thib, telah diterjemahkan dalam bahasa Latin.
C. Tahafut at-Tahafut, yang merupakan sanggahan dan kritikan terhadap kitab Al-Ghozali, Tahafut Al-Falasifah.
D. Al- Ksyf an Manahij al-Adillah fi Aqoid al-Millah, berisi tentang kritikan terhadap metode para ahli ilmu kalam dan sufi.
E. Fashl Al-Maqal fi ma bain al-Hikmah wa al-Syari’ah min al-Ittishal, merupakan kajian teologi yang mencoba mempertemukan agama dengan filsafat, yakni tentang korelasi antara agama dan filsafat.
F. Dhamimah li Masalah al-Qadim.


PEMIKIRAN FILSAFAT IBNU RUSYD

a. FAKTOR LOGIKA
Ibnu Rusyd merupakan seorang filsuf yang mementingkan akal. Menurutnya untuk memecahkan persoalan agama Islam, harus menggunakan kekuatan akal pikiran. Hingga persoalan yang berhubungan dengan Tuhan pun harus dipecahkan secara akal. Dalam kitabnya Fashl al-Maql, Ibnu Rusyd menyatakan bahwa segala penilaian tentang kebenaran harus didasarkan pada logika. Seseorang harus belajar memikirkan secara logika, ketika mempelajari agama. Dalam pandangan Ibnu Rusyd, pokok tujuan syari’at Islam adalah untuk mengajarkan ilmu yang benar dan amal perbuatan yang benar pula.
Filsafat Ibnu Rusyd sangat menggemparkan, akan tetapi tidak dapat mempengaruhi dunia pemikiran Islam pada saat itu. Di sisi lain, ternyata ulama-ulama skolastik Latin tidak dapat mempertahankan diri dari pengaruh Averroisme, yakni bagian Eropa karena komentarnya terhadap filsafat Aristoteles yang begitu bagus dan mengesankan. Ini merupakan bukti kemampuan Ibnu Rusyd dalam berfilsafat dan tiada duanya dalam mengomentari filsafat Aristoteles. Mengenai logika ini, Ibnu Rusyd menyatakan, bahwa ” janganlah memandang orang yang mengemukakan pendapatnya, akan tetapi pandanglah isi dari pendapat orang tersebut”.

JAWABAN IBNU RUSYD TERHADAP SANGGAHAN AL-GHAZALI

Dalam pemikiran filsafat Ibnu Rusyd terdapat jawabannya terhadap sanggahan Al-Ghazali. Sehubungan sanggahan yang mematikan dari Al-Ghazali terhadap para filosof muslim. Dalam hal ini, Al-Ghazali menghukumi para filosof kafir tentang tiga pemikiran-pemikiran filsof muslim, yakni:
1. Qadimnya Alam
2. Tuhan tidak mengetahui hal yang Juz’iyyat.
3. Tidak adanya kebangkitan jasmani di akhirat.

Adapun keterangan lebih jelasnya, yakni sebagai berikut:

Qadimnya Alam

Menurut Al-Ghazali, alam ini diciptakan oleh Allah yang mana semula dari tidak ada menjadi ada (Creatio Ex Nihilo). Dengan demikian dapat dipastikan dengan adanya penciptaan, maka ada yang menciptakan yakni, Allah sang Maha Pencipta. Sedangkan menurut filosof muslim, alam ini diciptakan dari sesuatu (materi) yang sudah ada. Ibnu Rusyd menyatakan bahwasannya Al-Ghazali keliru menarik kesimpilan, karena menurut Al-Ghazali, para filosof muslim terkesan menyamakan antara qadimnya Allah dengan qadimnya alam. Padahal yang dimaksudkan para filosof muslim, tentang qadimnya alam ialah sesuatu yang pada mulanya sudah ada, kemudian berubah menjadi ada dalam bentuk lain. Karena penciptaan dari yang tidak ada merupakan suatu yang mustahil dan tidak mungkin terjadi. Oleh karena itulah, asal materi ala mini mesti qadim.

Jika ditinjau dari pemikiran Al-Ghazali, ketika Allah menciptakan alam, maka yang ada hanyalah Allah semata. Akan tetapi, menurut pemikiran filosof muslim, ketika Allah mencipatakan alam, sudah ada sesuatu selain Allah. Dengan demikian, dari sesuatu yang sudah ada itulah Allah menciptakan alam. Pendapat Ibnu Rusyd ini, dikuatkan lagi dengan ayat al-Qur’an pada surat Al-Anbiya’ ayat 30, surat Hud ayat 7 dan surat Al-Fushilat ayat 11. kesimpulan dari keterangan ayat-ayat tersebut ialah sebelum alam diciptakan sudah ada sesuatu yang lain, yakni Air dan Uap. Oleh karena itu, menurut Ibnu Rusyd, pendapat para filosoflah yang sesuai dengan bunyi ayat.

Menurut Ibnu Rusyd, munculnya perbedaan pendapat ini disebabkan perbedaan dalam mengartikan kata al-ihdats dan qadim. Menurut kaum teolog muslim, al-ihdats berarti menciptakan sesuatu dari tidak ada. Sedangkan bagi kaum filosof muslim, al-ihdats berarti menciptakan sesuatu dari yang sudah ada menjadi ada dalam bentuk lain. Sementara makna kata qadim bagi kaum teolog muslim, ialah sesuatu yang mempunyai wujud tanpa sebab. Akan tetapi, menurut kaum filosof muslim, qadim berarti sesuatu yang kejadiannya dalam keadaan terus-menerus, tanpa awal dan akhir.

Tuhan Tidak Mengetahui Hal yang Juz’iyyat

Ibnu Rusyd menyetujui pendapat Aristoteles, yang menyatakan bahwasannya Tuhan tidaklah mengetahui hal-hal yang juz’iyat. Disisi lain, argument Aristoteles yang disetujui Ibnu Rusyd, dibantah keras oleh Al-Ghazali. Dalam pembelaannya terhadap kaum filsafat, Ibnu Rusyd menyatakan bahwa mereka yang mendakwa ahli-ahli filsafat yang memungkiri pengetahuan Tuhan terhadap juz’iyat itu disebabkan karena mereka tidak dapat memahami maksud ahli filsafat. Padahal yang dimaksudkan oleh ahli filsafat tentang memungkiri pengetahuan Tuhan terhadap juz’iyat ialah sebagaimana pengetahuan yang dicapai oleh orang biasa.

Pengetahuan Tuhan tidak dapat dikatakan juz’iyat, sebab juz’i adalah satuan yang ada di alam yang berbentuk materi. Sementara itu, materi hanya dapat ditangkap dengan pancaindera. Tuhan bersifat immateri (rohani), tentu saja pada zat Tuhan tidak terdapat pancaindera untuk mengetahui hal-hal yang parsial. Pada dasarnya mereka sependapat bahwa Tuhan Maha Mengetahui segala hal yang terjadi di alam ini. Akan tetapi, jika ditarik kesimpulan: Al-Ghazali terkesan menyamakan ilmu Tuhan dengan ilmu manusia. Sedangkan pemikiran filosof muslim, terkesan membedakan antara ilmu tuhan dengan ilmu manusia.

Tidak Adanya Kebangkitan Jasmani di Akhirat

Menurut kaum filosof muslim, yang akan dibangkitkan di akherat nanti adalah rohani saja, sedangkan jasmani akan hancur. Menurut Al-Ghazali yang akan, dibangkitkan di akherat adalah jasmani dan rohani. Para filosof muslim berpendapat, bahwa mustahil untuk mengembalikan rohani kepada jasmani. Menurut mereka, setelah rohani berpisah dengan jasmani berarti kehidupan telah berakhir dan jasmani hancur. Akherat merupakan lawan dari dunia dan yang berbentuk materi, berarti akherat bentuk rohaninya.

Akan tetapi jika menanggapi pernyataan Al-Ghazali, para filosof menyatakan jika ada kebangkitan jasmani, maka akan menempuh jalan yang sulit dan proses yang panjang. Sementara menurut Al-Ghazali sendiri, kebangkitan jasmani di akherat berarti dikembalikannya rohani pada jasmani, dan tidaklah sulit bagi Allah untuk melakukan hal ini. Allah Maha Kuasa menciptakan segala sesuatu. Dalam menyanggah pendapat filosof muslim, Al-Ghazali lebih banyak bersandar pada arti tekstual al-Qur’an. Sedangkan para filosof muslim, dalam memahami nash lebih cenderung pada arti metafora atau menggunakan rasio dan pemikiran filosof muslim merupakan pemikiran yang bersifat rasional.

Dengan demikian perbedaan pendapat antara filosof muslim dan Al-Ghazali hanyalah perbedaan interpretasi tentang ajaran Islam, bukan perbedaan yang menolak ataupun menerima ajaran Islam. Denga kata lain, perbedaan antara kedua golongan tersbut terletak pada ijtihad masing-masing golongan. Perbedaan seperti ini tidak akan membawa pada kekafiran. Oleh karena itu, menurut Ibnu Rusyd, tuduhan kafir yang dilontarkan Al-Ghazali kepada kaum filosof muslim, tuduhan yang tidak pada tempatnya.


KESIMPULAN

Nama lengkap Ibnu Rusyd ialah Abul Walid Muhammad bin Ahmad Ibnu Rusyd. Dia lahir di Cordova pada tahun 520 H. Sejak kecil dia suka meneliti, merangkum, membaca dan menulis ilmu-ilmu yang telah dipelajari. Adapun ilmu yang paling dia sukai yakni mengenai pemikiran filsafat Aristoteles. Akan tetapi, dalam hidupnya dia banyak mendapatkan fitnahan hingga dia diasingkan ke negeri lain. Hal ini disebabkan karena danya orang-orang yang tidak setuju dengan pemikiran filsafatnya. Karena dianggap pemikiran yang liberal dan tidak sesuai dengan agama.

Karya-karyanya banyak sekali diantaranya ilmu fiqih, filsafat kedokteran dan politik tidak kurang dari sepuluh ribu lembar yang telah ditulisnya. Adakalnya buku-buku miliknya merupakan karangan sendiri, ulasan-ulasan atau ringkasan. Sebenarnya karya-karyanya yang paling besar dan berpenngaruh di Barat yang dikenal dengan Avveroism adalah komentar atas karya-karyanya Aristoteles. Untuk nama-nama karyanya sebagaimana yang telah disebutkan diatas.

Untuk pemikiran filsafatnya, Ibnu Rusyd merupakan seorang filsuf yang mementingkan akal. Menurutnya untuk memecahkan persoalan agama Islam, harus menggunakan kekuatan akal pikiran. Dalam pandangan Ibnu Rusyd, pokok tujuan syarii’at Islam adalah untuk mengajarkan ilmu yang benar dan amal perbuatan yang benar pual. Dalam pemikiran filsafat Ibnu Rusyd terdapat jawabannya terhadap sanggahan Al-Ghazali. Sehubungan sanggahan yang mematikan dari Al-Ghazali terhadap para filosof muslim. Dalam hal ini, Al-Ghazali menghukumi para filosof kafir tenatan tiga pemikiran filosof muslim, yakni:
1. Qadimnya Alam
2. Tuhan tidak mengetahui hal yang Juz’iyyat
3. Tidak adanya kebangkutan jasmani di akhirat


DAFTAR PUSTAKA

Hanafi, Ahmad. 1990. Pengantar Filsafat Islam. Jakarta: PT Bulan Bintang.
Nasution, Hasyimsyah. 2002. Filsafat Islam. Jakarta: Gaya Media Pertama.
Zar, Sirajuddin. 2007. Filsafat Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Nasution, Harun. 2006. Filsafat dan Mistisisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang.

read more “Ibn Rusdy”

PENDEKATAN SOSIOLOGI DALAM KAJIAN ISLAM "Feminisme"

PENDEKATAN SOSIOLOGI DALAM KAJIAN ISLAM
Perspektif Teori Feminisme

Dalam sejarah kebudayaan manapun, keberadaan wanita dalam berbagai aktivitas dan kontribusinya bagi peradaban selalu mendapatkan tempat sebagai agenda pembicaraan yang aktual dari zaman ke zaman. Hingga kini. Wanita pernah dimuliakan, disanjung dan didewa-dewakan, tetapi disatu sisi sekaligus juga dihinakan dan direndahkan martabatnya dan tidak mempunyai hak yang dapat dijamin oleh hukum. Bahkan dalam tingkat sosial, wanita menempati urutan paling bawah. Pengkultusan, penindasan serta dehumanisasi ini berlaku baik karena keprimitifan budaya manusia maupun akibat modernisasi.

Modernisasi yang dimulai dari Revolusi industri di Perancis (1700-1800), telah menumbuhkan sistem kapitalisme, sistem demokrasi liberal serta akselerasi ilmu dan teknologi yang pesat (Kayam, 1986: 2-3). Sistem demokrasi liberal yang sangat mengagungkan persamaan hak hak asasi, membawa konsekuensi logis terhadap kaum wanita. Kaum wanita yang pada mulanya dianggap bebas peran dan terabaikan, menuntut haknya untuk mendapatkan peran yang ditentukan sendiri untuk mengaktualisasikan potensi dan kemampuannya (A. Hadar, 1989: 33). Perjuangan perlawanan perempuan terhadap beragam bentuk diskriminasi sosial, personal atau ekonomi, dimana perempuan sebagai pihak yang menderita karena jenis kelaminnya.
Inilah yang dideskripsikan oleh David Bouchier sebagai Feminisme (Connoly, 2002: 64).

Berbicara tentang feminisme tentunya kita akan melihat dari dua sudut pandang. Feminisme sebagai sebuah teori dan feminisme sebagai sebuah gerakan. Pada umumnya, kita mengambil teori feminis dimana teori ini kerap mengabaikan posisi kontemporer wanita, dengan memusatkan pada masa masa lalu yang bersifat historis atau masa masa depan yang bersifat utopis. Fokus pada praxis seringkali mengenai penciptaan revolusi, reformasi egalitarian atau utopia utopia kultural . Kalaupun teori sosiologi sebagian besar disasarkan pada apa yang dikenal sebagai hubungan individu dengan dunia sebagaimana adanya dan yang dipertahankan. Teori feminis merupakan suatu teori pembebas (emancipatory theory), yang memfokuskan hubungan individu atau kelompok dengan dunia sebagaimana yang disusun. Kebanyakan teori feminis, kemudian menekankan suatu filsafat sosial tentang wanita sebagai lawan dari sosiologi wanita.

Menurut Janet Chafetz (1988), berikut ini adalah unsur teori sosiologis feminis
1. Jenis kelamin merupakan suatu fokus sentral atau pokok didalam teori.
2. Hubungan hubungan jenis kelamin tidak dipandang sebagai suatu masalah.
3. Hubungan hubungan jenis kelamin tidak dipandang sebagai alamiah atau kekal.
4. Batu ujiannya yaitu apakah teori sosiologi feminis bisa dipergunakan untuk menentang, meniadakan atau mengubah suatu status Quo yang merugikan atau menurunkan derajat wanita.

Chafetz dengan sengaja menghilangkan aktifisme sebagai suatu komponen sentral yang membentuk teori feminis. Teori sosiologi jika sebelumnya yang juga feminis, menuntut bahwa teori harus melibatkan praxis (Millan dan Kanter, 1975 dan Cook dan Fonow, 1986). Sosiologi feminis juga terlibat didalam perubahan masyarakat melalui proses pembuatan sosiologi. Chafetz menolak definisi aktifis mengenai sosiologi yang dapat dipergunakan untuk tujuan aktifis, tetapi menurut definisi bukanlah aktifis “hal ini merupakan suatu penilaian terhadap teori itu sendiri, bukan terhadap sarjana yang menciptakan” (Chafetz, 1988.5).

Secara historis arus feminisme telah tumbuh didalam masyarakat liberalis dan kapitalis dalam bentuk “gerakan emansipasi wanita”. Pada abad ke-19 dipandang sebagai hasil dari perlakuan tidak seimbang terhadap wanita dalam revolusi industri dan sesudahnya, serta mengesampingkan peranan sosial politik wanita. Walaupun sudah pernah ada buku-buku kecil melontarkan bermacam-macam masalah wanita dan menuntut adanya perubahan sejak abad ke-17, sesungguhnya abad ke-19 dapat dikatakan sebagai awal munculnya, meski dalam bentuk terbatas yang didukung oleh gerakan sosial yang kuat (Izzat, 1997: 43)

Feminisme bukan fenomena tunggal, sebaliknya dalam sejarah feminisme muncul dalam berbagai latar belakang warna. Ada feminisme liberal, feminisme radikal, feminisme marxian dan sebagainya (Ollenburger dan Moore, 196: 21-30). Feminisme liberal adalah bentuk gerakan yang menuntut kebebasan kaum wanita untuk bebas menentukan nasib dan jati dirinya sendiri. Sedangkan feminisme radikal
mengumumkan perang terhadap tradisi patriaki, sebuah tradisi yang selalu menempatkan laki-laki dalam posisi yang lebih beruntung dihadapan wanita.

Sementara itu feminisme Marxian menyatakan bahwa wanita ditekan karena adanya struktur ekonomi, setelah penindasan ekonomi dipecahkan maka penindasan patriarki dapat dihapuskan. Ditengah-tengah gelombang pencarian nilai-nilai kewanitaan itulah, akhirnya muncul gelombang baru yang disebut dengan “pacificst feminist”, yaitu gerakan yang menganjurkan agar masyarakat kembali mencari nilai-nilai yang bersumber dari ajaran agama (MPA, 1995:9)

Jika kita ingin melakukan pendekatan feminis dalam studi agama, sebagaimana disinyalir oleh Sue Morgan dalam buku Agama Empiris (2000:79), bahwa pendekatan feminis dalam studi agama tidak lain merupakan suatu transformasi kritis dalam perspektif teoritis yang ada dengan menggunakan gender sebagai kategori analisis utamanya.

Istilah transformasi kritis disini adalah dimana dimensi kritis menentang pelanggengan historis terhadap ketidakadilan dalam agama, prktek-praktek esklusioner yang melegitimasi superioritas laki-laki dalam setiap bidang sosial. Aspek transformatif kemudian meletakkan kembali simbol-simbol sentral, teks dan ritual-ritual tradisi keagamaan secara lebih tepat untuk memasukkan dan mengokohkan pengalaman perempuan yang diabaikan. Sedangkan gender yang dimaksud disini, sebagimana yang dibuat oleh feminis adalah persepsi dan harapan-harapan kultural tentang apa yang seharusnya bagi laki-laki dan perempuan. Masih menurut Sue Morgan dalam perspektif feminis, gender ini dibedakan dengan seks, karena seks mengacu kepada sifat yang terberi secara biologis. Dan “patriarki” sebagai objek kritis feminis didefinisikan sebagai sistem kekuatan dominasi laki-laki terhadap perempuan yang terinstitusionalkan (dengan berlebihan), subyek laki-laki dan alam sebagai kesatuan (Connoly, 2002: 65)

Feminis-feminis religius, seperti yang diteliti Anne Carr (1988:95) disatukan oleh satu keyakinan bahwa feminisme dalam agama keduanya sangat signifikan bagi kehidupan perempuan dan kehidupan kontemporer pada umumnya. Sebagaimana agama, feminisme memberi perhatian pada makna identitas dan totalitas manusia pada tingkat yang paling dalam, didasarkan pada banyak pandangan interdipliner baik dari antropologi, teologi, sosiologi dan filsafat. Tujuan utama dari tugas feminis adalah mengidentifikasi sejauh mana terdapat persesuaian amtara pandangan feminis dan pandangan keagamaan terhadap kedirian dan bagaimana menjalin interaksi yang paling menguntungkan antara yang satu dengan yang lain.

Latar Belakang Munculnya Teori Feminis

Jika bicara Studi feminis terhadap agama, studi ini memiliki asal-usul panjang dan menarik. Dimulai dari feminisme religius Anglo-American yang terorganisir muncul pada abad- 19, dimana memiliki dua isu utama, yaitu perdebatan tentang persamaan akses terhadap ministry (jabatan pendeta) dan kritisisme injil (Connoly, 2002:65)

Perdebatan itu mulai muncul karena adanya sikap ambivalen dari pendeta laki-laki, dimana keterlibatan perempuan abad-19 dalam beragam aktifitas gereja sebagai biarawati, misionaris, pengumpul dana dan dermawan. Satu sisi mendapat respon terima kasih dari pendeta tersebut, tetapi disisi lain para pendeta itu menguatkan statemen bahwa kehidupan rumah dan keluarga lebih utama dibanding aktifitas mereka. Respon mendua dari pendeta laki-laki itulah yang dikritik oleh para feminis religius Amerika dan Inggris yang pada umumnya telah mengalami kemajuan berfikir karena dorongan gerakan perempuan sekuler, sehingga menyebabkan meningkatnya kesempatan dalam pendidikan dan pekerjaan bagi para perempuan (Coonoly, 2002:66)

Perdebatan itu kemudian meningkat pada peran perempuan dalam kependetaan. Para feminis menggugat mengapa pendeta perempuan dilarang berkhutbah (sebagaimana catatan jarena lee dalam biografi spiritualnya, ketika Lee ditolak untuk berkhutbah di gereja Epi Kostal Methodist Afrika oleh Richard Allen). Bagi feminis kristen, mandat ketuhanan secara jelas dibedakan dari interpretasi laki-laki yang dapat keliru, sebagaimana mereka menegaskan dispensasi kharismatik untuk jabatan khutbah (Preaching office). Prinsip injil tentang egalitarianisme spiritual dan watak universal kebangkitan Yesus.

Contoh tuntutan perempuan terhadap otonomi spiritual semakin tampak jelas, ketika kepemimpinan yang mereka kehendaki tidak muncul, sebagian mereka terus berdakwah, tanpa persetujuan umat. Pada periode ini sebagai catatan seperti yang dilakukan oleh jarena lee dan Amanda Bery Smith, jalan alternatif dipilih oleh mereka untuk memperbesar klaim mereka terhadap ekspresi diri spiritual. Dan pola semacam ini diikuti oleh perempuan-perempuan lainnya, mereka mengangkat diri mereka sebagai pemimpin gerakan keagamaan baru dan hal ini dikuatkan oleh gelombang revivalis pada abad setelahnya. Bahkan prinsip kesamaan spiritual dan sosial secara penuh bagi perempuan banyak digambarkan dalam pembelaan yang luar biasa dari sekte-sekte yang dibangun perempuan, seperti shakers yang didirikan Ann-Lee atau gerakan sains kristen. Mary Baker Edy, mereka melakukan pembelaan atas Imagery perempuan dalam pewahyuan (Connoly, 2002;67).

Agama merupakan faktor yang kuat dalam membentuk dan mengarahkan feminisme Amerika. Ini disebabkan oleh kuatnya hubungan ideologis antara gerakan perempuan dan kampanye anti perbudakan atau penghapusan perbudakan. Sebagaimana di negara-negara lainnya, di Amerika sampai pertengahan abad ke-19 masih terdapat perbudakan terhadap wanita. Untuk mencegah pemberontakan para budak tersebut, para majikan yang dipertuan tidak mau memberikan pendidikan (baca/tulis) kepada para budaknya (K. Kerber dan Marthew, 1982:99).

Keadaan itulah yang mendorong semangat Evangelis untuk melakukan reformasi. Feminis Evangelis mendasarkan seruannya pada perluasan peran, kewarganegaraan perempuan yang mendasarkan pada definisi tradisional feminis, memuji bakat perempuan terhadap pengasuhan dan kecenderungannya untuk menafikan dirinya demi kepentingan orang lain sebagai kualitas moral yang patut dicontoh. Feminisme liberal disisi lain, menentang ideal-ideal injil tentang sub-ordinasi dan domestifikasi perempuan, menuntut kesetaraan politik dan sosial sekalipun dengan perbedaan seks dengan hak yang diberikan Tuhan (Connoly, 2002:68-69).

Aliansi intrinsik antara keagamaan perempuan dan kualitas politis digulirkan dalam dominasi numerical perempuan Quaker (anggota perkumpulan kristen yang anti perang dan anti sumpah) di Seneca yang menghasilkan konvensi 1848 dan resolusi final deklarasi hak-hak perempuan.

Pada abad ke-19 itu, kritik paling tajam terhadap agama (kristen) dikemukakan oleh teoritisi feminis liberal Amerika; Elizabeth Cady Stanton dan Matilda Joslyn Gage, menurut Gage sejarah kristiani semata-mata dibangun berdasarkan pada ketidaksetaraan jenis kelamin dan pelemahan terhadap perempuan (Morgan, 2002:83). Dan seperti Gage, Elizabeth Cady Stanton menganggap dasar-dasar keinjilan dalam agama institusional sebagai penyebab utama inferioritas perempuan. Dan untuk membuat interpretasi yang lebih liberal terhadap injil, Stanton dan suatu tim 30 penerjemah termasuk Matilda Gage mengumpulkan komentar kritis terhadap seluruh bagian injil yang terkait dengan perempuan. Tawaran kalangan dalam The Women’s Bible yang dipublikasikan tahun 1985 dan 1898 itu bukan bentuk penolakan terhadap Injil, tetapi membongkar watak Endosentrisme atau keterpusatan kepada laki-laki dari tafsir skriptual yang ada (Morgan, 2002:84).

Sebagaimana feminisme religius abaf ke-19 yang mengambarkan analisanya yang disemangati oleh mainstream gerakan perempuan pada periode 1960-an dan 1970-an, kita menyaksikan gelombang kedua dimana sarjana-sarjana agama perempuan kontemporer menerima ideologi baru dari berbagai isu yang dimunculkan dalam bentuk yang lebih ilmiah dan pemecahan masalahnya dari kajian-kajian akademis. Periode ini disebut oleh sebagian orang sebgai formalisasi wanita dalam dunia ilmu pengetahuan (Izzat, 1997:43).

Seperti pendekatan teoritis para pendahulunya, proyek kritis feminisme kontemporer dimulai dengan pembahasan yang komprehensif terhadap misoginitas agama barat. Dalam anthologi Womans and religion, disitu dibuka kedok penyebaran inferioritas perempuan dalam setiap periode sejarah Yahudi dan Kristen Pengaruh ajaran Yahudi dan kristiani menganggap wanita sebagai pembawa dosa asal, manusia tanpa kepala, penjelmaan setan, semua terekspresikan dalam realitas kehidupan masyarakat yang dipelopori para pendeta dan rahib-rahib (El-Sadawi, 1980:95-96). Hal ini oleh Rosemary Radford Reuther dipandang merupakan kesalahan teologis dan dualisme Antropologis (dan hal ini disebut sebagai salah satu teori eksplanatoris).

Dari perintah Bibel terhadap pembungkaman perempuan, hingga tulisan-tulisan klasik seperti pada abad ke-13 seperti Saint Thomas Aquinas dan Alberto Magnus (ahli fikir dan teolog terkemuka saat itu) mengajukan satu pikiran bahwa wanita mempunyai kecakapan dalam berhubungan seksual dengan setan (El-Sadawi, 1980:95-96). Semua tema-tema ini adalah tema sentral yang mendominasi sehingga hubungan yang berbahaya antara agama dan jenis kelamin bukanlah hal yang peripheral dan kebetulan.

Menurut Sue Morgan (2002:86), menjelang tahun 1970 penyingkapan rahasia patriarki kagamaan telah menimbulkan berbagai strategi yang berhubungan dengan kemungkinan persesuaian feminisme dan agama. Dalam teori feminis pada umumnya terjadi ketegangan yang berlangsung dalam teologi feminis didasarkan pada sikap yang berbeda-beda terhadap pengalaman perempuan, signifikansi sejarah masa lampau dan inti simbol-simbol keagamaan. Ketegangan itu menggambarkan perbedaan klasik antara “kesetaraan ataukah pembedaan”. Feminis reformis yang dalam mengkontruksi turut menerima tradisi keagamaan, cenderung memfokuskan pada kesetaraan laki-laki dan perempuan dalam kerangka kerja pembebasan perempuan yang lebih luas. Feminis radikal menekankan pembedaan esensial antara jenis kelamin, menyerukan pada penemuan kembali prinsip feminim sebagai akhir dominasi patriarkal.

Mengenai kemunculan teologi feminim sering ditetapkan sejak munculnya artikel yang ditulis Saiving pada tahun 1960. Saiving menuntut reformulasi definisi teologis tradisional tentang dosa dan kritiknya terhadap teologi laki-laki klasik. Esei Saiving dengan cakap menunjukkan cara bagaimana norma maskulinitas dan humanitas seiring diruntuhkan dalam kesarjanaan Androsentris. Feminis menyadari bahwa generalisasi pengalaman yang diasumsikan oleh metodologi androsentris lebih sering menunjukkan suatu persoalan tentang penafian atau pengabaian perempuan.

Feminis menuntut reorientasi fundamental dalam studi agama dengan dimasukkannya pengalaman perempuan dalam aspek analisis keagamaan dan teologis. Dalam mendeskripsikan pendekatan feminim dalam studi agama sebagaimana dikatakan Ursula King adalah sebagai pergeseran paradigma karena perlawanannya yang sangat hebat terhadap perspektif teoritis yang ada. Feminis tidak hanya menjelajahi fenomena keagamaan baru yang bertalian dengan perempuan, mereka juga menentang asumsi-asumsi akademis tentang bebas nilai dengan melakukan pengujian kembali atas materi-materi dan konsep-konsep lama dari sudut pandang gender dan relasi kekuasaan. Pengalaman perempuan menjadi bahan bakar prinsip kritis dari pendekatan feminis, menguji ontetisitas berbagai simbol keagamaan atau kerangka kerja, sejauh mana kemampuannya memajukan humanitas perempuan yang utuh. Seperti ditulis feminis Yahudi yaitu Judith Plaskow; “komitmen pada pengalaman perempuan “ secara tepat menandai suatu komitmen apriori terhadap humanitas perempuan. Ini merupakan perubahan metodologis feminis y ang fundamental.

Tokoh Teori dan pemikirannya

Ketika berbicara tentang tokoh teori feminisme, maka dalam makalah ini diwakili oleh seorang tokoh yang terkemuka dari feminis aliran liberalis. Yaitu dimana tradisi feminis liberal dimulai sejak tahun 1792, ketika Mery Wollstonecraft menerbitkan A Vindication of The Right of Women (1779). Masa itu merupakan periode “pemikir liberal” besar dan perkembangan teori kontrak sosial. Filosof filosof seperti Rosswou pada waktu itu menegaskan rasionalitas, bahwa laki-laki (man) mempunyai kapasitas akal budi untuk menguasai seluruh “kehidupan manusia” (mankind), tetapi wanita berdasarkan sifat-sifatnya mesti dibatasi pada pendidikan dan tugas rumah tangga. Mary Wollstonecraft, Apra Behn dan para penulis lainnya pada masa itu menekankan bahwa wanita mempunyai kapasitas akal budi juga, karena itu haknya dengan lelaki mesti disamakan (Spencer, 1983). Wollstonecraft lebih jauh menegaskan bahwa rendahnya intelektual wanita terjadi akibat kurangnyakualirtas pendidikan yang dihasilkan didalam kesempatan kesempatan yang tidak merata.

Femilis liberal tradisional selanjutnya dipengaruhioleh karya Harriet Tailor (The Enfrachisement of Women) dan John Stuart Mill (The Subjection of Women). Taylor akhirnya dinikahi oleh Mill. Namun Taylor meninggal sebelum Mill mempersembahkan karya tersebut untuk mengenang Harriet. Kenyataannya karya itu merupakan ulangan dari The Enfranchisement of Women, namun lebih sempit dan argumennya kuang konsisten dari pada esei aslinya yang ditulis oleh Harriet Taylor (Scewendinger, 1974).

Fokus karya Taylor dan Mill tersebut ialah kecakapan dan kemampuan wanita. Karya-karya itu mempertentangkan teori-teori yang menggangap wanita secara inheren inferior atau superior, bahwa perbedaan perbedaan intelektual dan emosional secara individual, khususnya dalam The Subjection Women, mill membela hak pilih wanita serta menegaskan hak wanita yang sama terhadap anak-anak mereka, kesamaan wanita yang menikah dihadapan hukum dan hak wanita yang menikah untuk mengontrol harta kekayaan mereka sendiri (Mill, 1972/1983).

Mill melacak penyebab penyebab penindasan wanita pada kebiasaan sikap pria secara individual. Disini fokusnya adalah bahwa para lelaki merupakan penindas pendidikan moral mereka yang tidak benar membuat mereka mengembangkan nafsu nafsu mementingkan diri sendiri untuk kuasa. Hal ini menciptakan manusia berpolitik (Political man), dengan keinginan untuk berkuasa dalam politik, ekonomi dan hubungan keluarga. Tidaklah mengherankan jika kemudian pemecahan Mill untuk penindasan wanita ialah melalui hukum dan moral. Ia mengusulkan peningkatan pendidikan bagi wanita dan saat Mill mempublikasikan The Subjection of Woman, informasi yang disajikannya hampir telah diketahui umum. Namun gagasan gagasan tersebut tidak mendapatkan perhatian, sampai ia mempublikasikannya.

Materi teori Feminis

Sejak tahun 1980, pertumbuhan dan diversifikasi pendekatan feminis dicirikan dengan upaya untuk menciptakan sumber materiil baru dan digunakannya paradigma kesarjanaan keagamaan yang baru, memperbaiki model andosentris sebelumnya dengan mengistimewakan perempuan. Beberapa feminis secara sistematis mengolah kembali konsep-konsep utama seluruh tradisi keagamaan.

Reinterpretasi feminis terhadap teks-teks keagamaan juga dipenuhi dengan “warisan simbol dan image. Pembacaan terhadap literatur suci Kristen, Yahudi, Islam dan agama-agama dunia lainnya tidak hanya melibatkan kesadaran terhadap muatan naratif, tetapi juga kesadaran atas seluruh proses hermeneutik atau interpretatif yang dengannya muatan itu dipahami sebagai hal yang normatif. Pengakuan atas pengakuan pengarang yang dimiliki laki-laki, transmisi dan kanonisasi kitab suci menjadikan pendekatan hermeneutik feminis Yahudi dan kristen sebagai pendekatan yang sangat mencurigakan (interpretation as exercise of suspicion). Milieu patriarkal teks injil tidak diperdebatkan, meskipun tidak seperti tokoh post-Yahudi dan post-Kristen, feminis reformis enggan memberikan misoginitas (kebencian terhadap perempuan) teks-teks Injil terbukti sebagai kata-kata yang menentukan. Mereka melanjutkan karya-karya tafsir abad-19 yang meyakini bahwa Injil memuat jalan-jalan yang pada akhirnya membebaskan perempuan (Connoly, 2002:80).

Pendekatan-pendekatan yang dipakai oleh kesarjanaan feminis adalah Pertama; terhadap materi Injil, revisi tekstual secara detail digunakan untuk menemukan kembali dan memperkuat suara perempuan dalam Injil yang tidak jelas, Kedua; mengacu kepada “tradisi kenabian Yesus” dalam Injil, sebuah tema dasar yang oleh feminis dinyatakan sebagai bukti kemampuan Injil memunculkan perspektif kritisisme diri terhadap patriarki dengan bersumber pada Injil sendiri, Ketiga; penemuan kembali sejarah keagamaan perempuan (dan ini kurang terkait dengan pendekatan keinjilan).

Pencarian feminis terhadap jalan keluar yang diperoleh kembali melalui bahasa sacred, literatur dan sejarah telah memungkinkan terjadinya dialog yang saling menguntungkan antara feminisme dan agama. Rekontruksi feminis terhadap agama tidak berhenti pada refleksi teoritis, tetapi bahkan berusaha memajukan dan terlibat dalam perubahan praktis. Perspektif feminis sejak kelahirannya dicirikan dengan identifikasi terbuka terhadap teori dan aksi, mengevaluasi otentisitas kebenaran keagamaan dengan melihat kemampuannya dalam mempengaruhi transformasi sosial dan politik. Hubungan antara teori dan praktek secara mendasar terbukti regeneratif. Eksklusif fisikal terhadap perempuan dari peran-peran peribadatan mendorong analisis teoritis berkenaan dengan dasar-dasar intelektual struktur religi patriarkis. Lingkaran itu menjadi sempurna ketika interpretasi-interpretasi feminis yang telah direvisi feedback kepada komunitas-komunitas yang sama, mendorong pembasmian seluruh cacat religius dan sosial yang dikenakan kepada perempuan (Connoly, 2002;86).

Tuntutan feminis yang mendasar dalam transformasi religius praktis adalah seruan terhadap pengakuan dan akses yang setara bagi perempuan untuk menjadi pemimpin-pemimpin yang ditahbiskan secara penuh bagi komunitas mereka (Connoly, 2002;86). Persoalan pentahbisan ini menjadi persoalan yang signifikansi untuk dibahas, seperti ulasan Sally Rabbi priesand dalam tulisan awalnya yang mengemukakan perdebatan utama feminis Yahudi tentang “eksklusi halakhik” perempuan dalam peribadatan publik. Tulisan Anne Bancorf yang menggambarkan kesulitan-kesulitan perempuan Budhist dalam mencapai pentahbisan yang utuh dalam madhab Therevada dan Mahayana, hal ini menunjukkan baik bagi pendeta Kristen, Rabbi dan guru. Pentabisan tetap menjadi simbol kunci bagi kedirian perempuan secara utuh.

Dalam beberapa hal ketika feminisme menunjukkan komitmen utama pada perlakuan secara adil terhadap perempuan dan menyerukan hubungan antara laki-laki dan perempuan yang kolaboratif dan egalitarian, maka sesungguhnya ini merupakan proyek etis. Etika feminis kembali menyatakan hubungan antara teori dan praktek keagamaan menegaskan bahwa antara refleksi moral privat dan agen moral publik saling terkait secara instrinsik. Etika feminis dicirikan dengan metafor pemeliharaan (metaphors of care), keterhubungan dan interdependensi. Dan fokus relasionalitasnya secara spesifik berkaitan dengan etika lingkungan feminis atau ekofeminisme (suatu wilayah penelitian keagamaan feminis yang mengalami perkembangan pesat) (Connoly, 2002;87-88).

Teori ekofeminisme ini dipengaruhi oleh filsafat spiritualisme ketimuran dan agama-agama mistik, serta pola hidup orang dahulu yang selaras dengan alam. Pandangannya antara lain, bahwa alam (mother nature) adalah sumber segala sesuatu dan bahwa manusia mempunyai esensi yang abadi yaitu kesadaran. Menurut ekofeminisme pula, kegagalan peradaban modern adalah karena manusia memuja Tuhan maskulin (the father God) dengan kualitas-kualitas maskulin seperti kuasa, aktif terpisah , independen, jauh dan dominan. Dan kurang memuja Tuhan feminim (the mother God) dengan kualitas-kualitas seperti dekat, kasih, penerima, pemelihara, pasif, berserah diri dan kualitas feminis lainnya (Murata, 1994;23).

Tokoh-tokoh feminis yang mendukung ekofeminisme ini adalah seperti Carol Christ, Vandana Shiva, Irene Diamond, Gloria Feman Orenstein, dan feminisme kristen seperti Ruether dan Anne Primaveri berusaha mencari sumber-sumber yang mendukung ekofeminisme yang efektif dalam tradisi Bibel (Connoly, 2002;89).

Dalam Islam, sebagaimana dikemukakan oleh tokoh feminis Indonesia yaitu Ratna Megawangi, bahwa dari apa yang diungkapkan oleh ekofeminisme dijelaskan secara sistematis dalam bukunya The Tao of Islamnya Sachiko Murata, meskipun tidak secara khusus membahas tentang gender. Sachiko menyatakan bahwa betapa para sufi zaman dulu sudah sering menganalisis realitas ketuhanan, hubungan Tuhan dengan manusia melalui prinsip-prinsip dualitas yang mirip ajaran Tao (yin-yang), misalnya feminim-maskulin yang komplementer bahkan tercermin dalam nama-nama Allah (Asma ‘Al-Husna). Kualitas yin, identik dengan nama keindahan dan kualitas yang identik dengan nama keagungan Tuhan. Dari hubungan dualitas nama-nama atau simbolisasi Tuhan itulah kemudian muncul keberagaman, perbedaan, keterpisahan yang semuanya menjelma dalam proses penciptaan alam raya sebagaimana makrokosmos dan manusia sebagai mikrokosmos. Dengan indahnya Sachico kemudian menjelaskan bagaimana dualitas itu menjadi satu kembali dan apa pula tujuan penampakan dualitas dari segala sesuatu; Tuhan- manusia, langit-bumi, siang-malam seta feminim-maskulin. Tak lain, karena Tuhan ingin menampakkan sebagian wajahNya bagi makhluknya.

Riset Feminis Dalam Sosiologi

Dalam tahun tahun terakhir ini, terdapat komotmen yang meningkat dalam riset dikalangan para sosiolog yang memperhatikan wanita dan persoalan persoalan wanita. Khususnya fokus literatur sosiologis belakangan ini pada peran peran jenis kelamin, bagian kehidupan startifikasi sosial dan pekerjaan menggambarkan suatu komitmen baru terhadap kehidupan wanita (Lopata, 1976). Sosiologi keluarga telah mengalami perubahan dramatis dari dikotomi instrumental atau ekspresif tradisional teori fungsional, menjadi melihat baik pada pola pola historis maupun perubahan perubahan kontemporer dengan alternatif baru model model dinamik (Thorne. 1982). Sosiologi pekerjaan telah mulai menganalisis riset yang dilakukan dibidang stratifikasi yang menggambarkan pemisahan jenis kelamin serta ketidaksimbangan sistem imbalan. Lagi pula, asumsi asumsi bersiifat jenis kelamin yang mendasari “partisipasi tenaga kerja upahan” jadi dipertanyakan, karena menjadi kelihatan, serta setiap pekerjaan yang didominasi kewanitaan segera akan digabungkan dengan pekerjaan pekerjaan kewanitaan yang lain. Dalam dua dekade terakhir ini juga telah mengalami perubahan dramatis dalam standar standar riset.

Banyak sekali contoh gambaran penelitian dengan menggunakan pendekatan teori feminisme ini, diantaranya yaitu sebagaimana yang diteliti oleh Mayling Oey yang berjudul Peranan Wanita sebagai pekerja industri di Indonesia, suatu gambaran perubahan dalam dasawarsa 1970 an. Kemudian penelitian Umar Kayam tentang Di Tengan himpitan budaya dunia, kehidupan pembantu rumah tangga wanita wanita Jawa (Makalah Seminar Nasional Wanita Indonesia,1984).

. Kritik Teori

Sesudah studi wanita dikembangkan secara pragmatis, makin semakin terasa bahwa dibidang ini diperlukan sebuah wawasan yang mantap yang dapat menghimpun berbagai hasil studi tentang wanita menjadi sebuah “Body of Knowledge”, sehingga semakin diperoleh pengetahuan yang komprehensif.

Studi wanita yang dilaksanakan bersifat multidisipliner, dengan demikian diperlukan teori yang lebih mendasar dimana hasil studi dari berbagai disiplin dapat benar-benar didudukkan. Meskipun berbagai teori ditampilkan dalam berbagai bidang ilmu, masih diperlukan suatu meta teori yang sekaligus teruji untuk menjadi wawasan yang mantap yang dapat memberi tempat pada segala hasil studi dan penelitian yang sifatnya hingga kini. Jika kemudian telaah filsafat yang mendapat tugas untuk menjabarkan meta teori tersebut, tetapi apakah pendekatan filsafat tersebut mampu dilaksanakan pada studi wanita yang mengambil wanita sebagai objek studi, padahal manusialah yang menjadi obyek hakikat universal, sedangkan wanita hanya merupakan sebuah bentuk partikular manusia.

Dengan demikian semakin relevan pada masalah wanita, tidak saja hanya menjadi obyek telaah filsafat tetapi obyek telaah ilmu sosial atau bahkan agama. Sehingga paradigma baru dapat diperoleh untuk studi wanita dan diperoleh sebagai endapan dari studi wanita interdisipliner dan internasional, yaitu suatu wawasan yang cukup mantap untuk mengatasi berbagai praduga yang menyangkut studi wanita ini, baik apabila dikaitkan dengan ideologi yang disebut feminisme maupun gerakan yang disebut gerakan pembebasan wanita.

Perspektif Islam

Meskipun feminis Yahudi dan Kristen banyak digambarkan dengan baik karena kontribusinya dalam pengembangan proyek feminis, namun dalam makalah ini dicoba penggambaran sedikit dalam perspektif Islam.

Jika mengaitkan isu kesetaraan gender dengan agama, menurut Budi Munawar-Rahman, 1998;1) maka permasalahan ini bisa dianalisis dari dua sudut, yaitu pertama; Memakai analisis gender (dalam hal ini ilmu-ilmu sosial) kepada teks-teks Islam terutama Al-Qur’an dan Hadis, seperti yang dilakukan oleh para feminis muslim selama ini yang menafsirkannya sesuai dengan visi baru kesetaraan dan kemudian mengkonfrontasikannya dengan penafsiran yang ada yang telah mapan. Atau kedua; Melihat persoalan gender dari sudut pandang keilmuan Islam itu sendiri, jadi analisnya bukan dari sudut pandang sosiologi, tetapi dari sudut pandang agama. Islam itu sendiri yang mempunyai corak yang khas dan telah dipaik selama berabad-abad secara tradisional. Analisis gender keislaman ini banyak dilakukan khususnya oleh para sufi.

Dalam konteks dua cara analisis diatas maka pemakaian hermeneutiknyapun berbeda. Yang pertama; analisis gender atas teks-teks Islam dengan memakai interpretation as exercise of suspicion (penafsiran sebagai latihan kecurigaan). Demistifikasi dilakukan atas simbol-simbol keagamaan yang berkaitan dengan persoalan gender. Dicari suatu penjelas mengapa ketidaksetaraan gender tersebut, bahkan teks-teks keagamaan yang kelihatannya seksis dan misoginitas yang termuat dalam teks-teks Islam. Dalam analisis gender ini, asumsinya jelas datang dari luar; suatu visi yang berkaitan dengan feminisme yang ingin membangun masyarakat berdasarkan kesetaraan gender dipakai untuk membaca, menerangi dan selanjutnya mencurigai teks-teks itu. Tetapi visi yang datang dari luar ini, dipakai untuk nantinya ditunjukkan bahwa dari dalam teks sendiri visi kesetaraan ini memang implisit termuat dalam teks itu dan sekarang bisa terlihat setelah dilakukan pembongkaran.

Pemakaian jenis hermeneutika kedua dalam analisis gender yang dilakukan dari sudut pandang keilmuan Islam adalah yang memberikan tekanan interpretation as recollection of meaning (penafsiran sebagai pengingatan kembali makna). Disini diterapkan suatu lingkaran hermeneutik yang oleh Ricouer disebut “Believe in order to understand, understand in order to believe”. Berkebalikan dari ‘kecurigaan’ sebagai hal yang penting dalam jenis hermeneutics of suspicion, iman (faith) adalah hal yang penting dalam keseluruhan proses recollection of meaning ini. Karena iman menyangkut pintu masuk kepada makna yang paling mendalam dari suatu visi teks-teks, khususnya teks-teks sakral yang memang memuat suatu makna sampai yang paling batin.
Model tafsir feminis: Interpretation as exercise of suspicion.

Dalam menganalisis usaha esar kaum feminis Muslim dalam membangun suatu masyarakat muslim yang bebas gender, ada beberapa penafsiran atas teks-teks suci yang menjadi pokok perhatian mereka. Diantaranya yang paling esensi menyangkut ayat yang berkaitan dengan pusat kehidupan perempuan pada laki-laki. Dimana laki-laki dipandang mempunyai hak yang lebih dibandingkan isterinya, sehingga ketaatan isteri nyaris mutlak terhadap suami. Dasar kelebihan hak ini dipandang dari kewajiban suami memberikan nafkah, sehingga laki-laki diperbolehkan agama untuk “mencari kesenangan lain” dengan poligami, sementara perempuan tidak. Lebih lanjut seperti yang tertera dalam kitab klasik yang banyak menjadi rujukan di pesantren-pesantren yaitu; ‘Uqudud-ul Lujjainfi Bayan Huquqi Zaujian’ menafsirkan bahwa keselamatan perempuan tergantung pada laki-laki, karena didasarkan kepada hadis: “sesungguhnya seorang istri belum terhitung memenuhi hak-hak Allah SWT, sehingga ia memenuhi hak-hak suaminya” (Muhsin, 1994:23).

Banyak ayat Al-Qur’an dan hadis yang sering dipakai sebagai dasar dari ketergantungan keselamatan perempuan secara teologis kepada laki-laki. Karena itu dalam usaha mencari kesetaraan gender berdasarkan ide semangat kesetaraan yang oleh kalangan feminis dianggap merupakan pesan dasar Al-Qur’an, maka dipertanyakanlah apa saja yang berkaitan dengan adanya ‘struktur pusat’, dalam hal ini pandangan teologi mengenai laki-laki dalam Islam. Laki-laki dalam Islam ternyata mempunyai hak satu tingkat lebih tinggi dari perempuan. Ayat Al-Qur’an yang mendasarinya adalah “Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum perempuan….” (QS. An-Nisa;34). Seluruh ketidak adilan gender dapat dibenarkan oleh kaum tradisional Islam.

Riffat Hasan maupun Fatima Mernissi (tokoh feminis muslim) dalam bukunya setara dihadapan Allah (1999;32) lebih jauh menelusuri mengenai penciptaan Hawa (yang dari tulang rusuk Adam) dan latar belakang turunnnya pasangan ini ke bumi, membawa implikasi jauh kedalam kehidupan banyak wanita dimuka bumi dari sisi pandang agama. Menurut Fatima Mernissi hal itu membawa dampak,pertama; agama seolah mengatakan, Hawa diciptakan untuk memenuhi kebutuhan dan selera Adam. Kedua; Hawa secara biologis lebih rendah tingkatnya dari pada Adam. Dan ketiga; bahwa Hawalah yang menyebabkan Adam terusir dari Surga, itulah konon konsep awal yang mendasari diskriminasi wanita dalam agama. Sedangkan Riffat Hasan memandang bahwa jika Hawa adalah seconday creation karena tercipta dari tulang rusuk Adam, maka akan bisa dibenarkan argumen supremasi atas perempuan. Dalam turunannya selanjutnya akan dibenarkan ketidak setaraan gender dalam hal soal-soal yang kontroversial dan telah menjadi bahan diskusi dan polemik diantra para feminis muslim, yaitu persoalan pembagian waris, saksi, perkawinan dan kepemimpinan perempuan dalam ibadah dan kehidupan sosial politik.

Dalam pembacaan atas teks-teks tradisional, akan diketahuilah bahwa fungsi perempuan dalam kehidupan laki-laki adalah terutama sebagai teman seksual laki-laki, walaupun sebenarnya sama sekali tidak terkait dengan ketakwaan. Karena pada akhirnya dihadapan Tuhan, ukuran ketakwaan bukanlah peranan gender dalam kehidupan sosial, dalam bahasa Al-Qur’an tertera dalam QS. Al-Ahzab;35.
Menurut Budy Munawar-Rachman (1998;10) sebenarnya ketidak setaraan gender hanyalah soal kehidupan sosial saja, tidak berkaitan dengan soal keruhanian. Tetapi kadang-kadang para penafsir, karena kecenderungan dan prasangka misoginitas (kebencian terhadap perempuan), sering melebih-lebihkan apa yang Al-Qur’an sendiri tegaskan secara literal. Soal ketidaksetaraan gender hanyalah soal fungsional dalam kehidupan sosial. Tetapi justru ketidaksetaraan gender secara sosial inilah yang menjadi pertanyaan kaum feminis Muslim; “Kalau dihadapan Allah laki-laki dan perempuan adalah setara, mengapa dihadapan manusia malah tidak?

Bagi kaum feminis, pertanyaan itu memunculkan suatu usaha dekonstruksi, justru untuk suatu proses rekonstruksi baru penafsiran Islam yang lebih adil secara gender. Untuk itu dicarilah jejak-jejak pandangan dunia yang telah mengakibatkan ketidakadilan sosial secara gender itu. Asal-usulnya, seperti halnya diketahui dalam teori feminisme, rupanya muncul dari prasangka misoginitas dan suatu pandangan dunia patriarki, yang menjadi suatu visi umum kehidupan masyarakat. Sikap misoginitas dan pandangan dunia patriarki ini selanjutnya, sadar ataupun tidak sadar masuk kedalam penafsiran keagamaan. Dan dianalisalah bagaimana bentuk-bentuk patriarki dalam penafsiran keagamaan telah dipelihara dan dilegitimasikan dalam suatu penafsiran teks. Maka suatu penafsiran teks tradisional perlu dicurigai untuk selanjutnya dibongkar.

Dan inilah yang mewarnai tulisan-tulisan para feminis muslim seperti Amina Wahdud Muhsin, Asghar Ali, Warda Hafidz, Nazardin Umar dan sebagainya. Dekonstruksi atas penafsiran teks begitu penting bagi kalangan feminis ini, justru untuk “konstruksi ulang” yang menjadi usaha serius perhatian mereka. Dekonstruksi atas penafsiran teks-teks Islam menyangkut perempuan ini begitu penting justru sebagai “exercise of suspicion” itu.Dalam rangka penerapan ini metode kecurigaan ini, apa saja metodologi ilmu-ilmu sosial dan filsafat yang bisa dipakai, perlulah dipakai. Pokoknya tercapai pembongkaran, dari sini dimulailah suatu penafsiran baru berdasarkan suatu visi kesetaraan gender yang adil. Semua argmen supremasi atas perempuan harus dicurigai, walaupun itu adalah teks-teks suci secara literal memang memperlihatkan ketidaksetaraan.

Model-model varian penafsiran yang menonjol dari kalangan cendekiawan Muslim adalah antara lain:
Penafsiran Feminis Reformis. Penafsiran yang digunakan disini adalah dengan penafsiran teks. Teks-teks otoritarif keagamaan tidak dengan sendirinya bisa ditangkap maknanya secara langsung, tanpa adanya penafsiran. Maka wacana penafsiranlah yang perlu dilihat apakah sudah memadai atau tidak dalam suatu visi tertentu yang dibelanya dan termuat dalam teks-teks otoritatif ini. Begitulah agenda hermeneutis kalangan reformis ini, dibuat menyangkut persoalan gender.
Penafsiran FeminisTransformis. Tujuan kaum feminis transformis ini adalah menstransformasikan tradisi, tetapi tetap mempergunakan metodologi hermeneutis klasik Islam yang dikenal dalam wacana Islam tradisional. Dasar-dasar liberal kalangan transformis ini sudah tertanam dalam wacana liberal klasik Islam. Dalam agenda feminis, misalnya istilah atas ayat-ayat Al-qur’an yang muhkamat dan yang mutasyabihat perlu dibedakan betul. Metodologi hermeneutis ini didukung oleh Al-Qur’an sendiri dalam Qs. Ali Imran:7. Dalam penafsiran kaum feminis transformis ini, begitu penting pembedaan antara; (1) inti atau dasr dari kitab (2) bagian yang bersifat tamsil dan kiasan. Dalam soal yang kedua terbuka lebarlah ruang penafsiran yang justru telah menimbulkan madhab-madhab dalam Islam.

Penafsiran Feminis rasionalis. Model hermeneutis kalangan feminis rasionalis ini berangkat dari suatu keyakinan bahwa visi Al-qur’an adalah keadilan. Seluruh ayat-ayat dalam Al-qur’an pada dasrnya membawa wacana keadilan dan kesetarann gender ini. Tetapi keadilan dan kesetaraan gender itu bukan sesuatu yang abstrak. Keadilan dan kesetaraan gender sering muncul dalm suatu penghadapan masalah. Karena itu dalam banyak ayat keadilan ini sering bersifat kontekstual. Buku-buku Riffat hassan banyak menyuarakan visi feminis rasionalis ini.

Sebenarnya masih ada lagi suatu pandangan dari kaum feminis muslim yang rejectionistic, yang dari awal tidak seperti para hermeneut muslim lain, sudah menganggap bahwa memang ada ayat-ayat Al-Qur’an berkaitan dengan perempuan yang misoginitas dan seksis. Tokohnya adalah Desi Tasleema Nasreen. Fatima Mernissi menurut Budhy Munawar-Rohman juga termasuk kaum feminis yang rejecsionis, tetapi tidak berkaitan dengan ayat-ayat Al-Qur’an, melainkan dengan hadis-hadis yang disebutnya “hadis-hadis misoginis dan ini dijelaskannya dengan gamblang dalam bukunya Wanita didalam Islam (Pustaka; 1994), dimana ia menyatakan bahwa hadis-hadis yang selalu dipakai untuk melegitimasikan ketidaksetaraan gender ini, masuk kepada hadis-hadis yang lemah dan karena itu kita harus menolaknya.

Kesimpulan

Feminisme dapat dilihat sebagai dua perspektif, dimana satu sisi berlaku sebagai teori dan satu sisi sebagai gerakan. Feminisme secara teoritis adalah perjuangan perlawanan perempuan sebagai alat untuk menjelaskan adanya fenomena terhadap beragam bentuk diskriminasi sosial, personal atau ekonomi, dimana perempuan sebagai pihak yang menderita karena jenis kelaminnya. Sedangkan feminisme sebagai social movement (gerakan) adalah tuntutan perempuan akan emansipasi, sebagai aksi dari fenomena-fenomena yang terjadi pada perempuan.

Feminisme bukan fenomena tunggal, sebaliknya dalam sejarah feminisme muncul dalam berbagai latar belakang warna, diantaranya feminisme liberal yang stressing kajiannya adalah pemberdayaan perempuan, dengan mengangkat isu bahwa perempuan harus lebih ditingkatkan educationnya, feminisme radikal dimana memandangbahwa diskriminasi perempuan adalah karena alasan kultural. Sedangkan feminisme marxian memandang bahwa karena strukturallah yang menyebabkan perempuan termaginalkan.

Studi agama yang dilakukan kaum feminis telah membongkar realitas seksisme dalam setiap aspek kajian keagamaan dan teologis. Dalam suatu rangkaian perdebatan yang hidup dan kreatif. Keahlian dekonstruksi yang diasah oleh feminis menundukkan simbolisme keagamaan, bahasa, literatur, sejarah dan doktrin pada penelitian yang kritis dan menyeluruh.

Feminis religius mencerminkan sejumlah concern yang secara tipikal didefinisikan sebagai postmodernis, memaksakan kesadaran akan perlunya kajian yang dikondisikan secara sosial dan historis, kritisisme diri dan perlawanan terhadap dominasi teori-teori besar atau metanaratif. Sebagai hasilnya pendekatan feminis telaah dan terus berfungsi sebagai suatu percobaan untuk menguji kemampuan agama. Mendefinisikan kebermaknaannya sendiri dalam konteks pluralis kontemporer dan menghadapi tantangan post-modernitas.

Daftar Pustaka
Thomas S. Kuhn, 1997. The Essential Tensin. Chicago. The University of Chicago. Carol C Gould and Marx W. Wartoesky. 1976. Woman and Philosophy. Toward a Theory of Liberation. New York. Capricorn Books.
Lopata H. Z. 1976. Sosiology “Sighn”
Thorne B. 1982. Feminist Rethinking of The Family An Overview. New York. Longman
Chafetz. J. S. 1998. Feminist Sociology An Overview of Contemporary Theories. Itasca. IL. Peacock.
Gross E dan C. Pateman. 1986. Feminist Challenge Social and Political Theory. Boston. Northeastern University Press.
Peter Connly, 2002. Aneka pendekatan Studi Agama. Yogyakarta: LkiS.
Jane C. Ollenburger dan Helen A. Moore, 1996. Sosiologi Wanita. Jakarta:Rineka Cipta.
Hibbah Rauf Izzat, 1997. Wanita dan Politik, Pandangan Islam. Bandung:Remaja RosdaKarya.
Sue Morgan, 2002. Agama Empiris Agama Dalam Pergumulan Realitas Sosial, Yogyakarta:Pustaka Pelajar.
Nawal el-Sadawi, 1980. The Hidden Face of Eve. London: Zed Press.
Ivan A. Hadar, 1989. Permasalahan Gender dalam Pengembangan Masyarakat, no;2. Vol.iv; Jakarta:Pesantren.
Umar Kayam, 1986. Karier untuk Apa, Yogyakarta:Prima seminars.
Amina Wadud Muhsin, 1994. Wanita didalam Al-Qur’an, Bandung:Pustaka Pelajar.
Riffat Hasan, Setara dihadapan Allah, Yogyakarta:LSPPA. Yayasan prakarsa.
Fatima mernissi, 1996. Pemberontakan Wanita, Bandung: Mizan.
-------------------, 1994, Wanita didalam Islam, Bandung: Pustaka.
Budhy Munawar Rahman, 1998. Kesetaraan Gender dalam Islam, Persoalan Ketegangan Hermeneutik, Yogyakarta.
Majalah Pengetahuan Agama (MPA). Emansipasi Wanita, Edisi 115/April 1996.
Sachiko Murata, 1990. The Tao of Islam, Bandung: Mizan


read more “PENDEKATAN SOSIOLOGI DALAM KAJIAN ISLAM "Feminisme"”

Problematika Pendidikan Islam

Pendidikan merupakan hal yang sangat komplek dan sangat di butuhkan oleh masyarakat karena pendidikanlah yang bisa membedakan manusia dengan hewan karena dalam proses pendidikan manusia pasti membutuhkan akal pikiran untuk berfikir.dalam hidupnyamanusia tidak hanya membutuhkan pendidikan umum tetapi pendidikan agama islam juga sangat dibutuhkan dan kita wajib mengerti dan memahami tentang semua yang terkandung.

Tapi hingga saat ini masih banyak di temui beberapa kendala yang menhambat berkembangnya pendidikan di Indonesia khususnya dalam lingkungan pendidikan agama masih saja di anak tirikan dan kita selalu di nomor duakan yang seolah-olah kita tidak ada di Indonesia baik dari pemberian fasilitas hingga jaminan setelah lulus dari lembaga agama.maka dari itu dengan adanya masalah ini kami bermaksud menulis makalah yang beerjudul “PROBLEMATIKA PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA”

B. Rumusan Masalah
1. Pengertian Pendidikan Islam ?
2. Tujuan pendidikan islam ?
3. Masalah yang timbul pada pendidikan islam di Indonesia ?
4. Solusi untuk mengatasi masalah pendidikan di Indonesia ?

Pengertian pendidikan islam
Menurut bahasa kata “pendidikan” berasal dari bahasa arab yaitu “ tarbiyah” dengan kata kerja “rabba” dan artinya pengajaran.kata pengajaran dalam bahas arabnya adalah “ta’lim” dengan kata kerja “allama” yang mempunyai arti memberi tahu,mengajarkan, mendidik.

Sedangkan Menurut istilah pendidikan islam adalah pembentukan kepribadian muslim sehingga menjadi muslim yang sesuai dengan perintah agama dengan memiliki akhlak yang mulia.

Sedangkan Menurut pendapat para ahli adalah sebagai berikut :
1) Menurut Drs. Ahmad d. marimba mengatakan pendidikan islam adalah bimbungan jasmani, rohani berdasarkan hukum-hukum agama islam menuju kepada terbentuknya kepribadian utama Menurut ukuran-ukuran islam.

2) Menurut Mustafa al-ghulataini pendidikan islam adalah menanamkan akhlak yang mulia di dalam jiwa anak dalam masa pertumbuhannya dan menyiraminya dengan petunjuk dan nasehat sehingga akhlak itu menjadi salah satu kemampuan meresap jiwa kemudian buahnya berwujud keutamaan, kebaikan dan cinta bekerja untuk kemanfaatan tanah air.

3) Menurut syah muhamad A. Nauqib al-atas mengatakan pendidikan islam adalah usaha yang di lakukan pendidik terhadap anak didik untuk pengenalan dan pengakuan tempat-tempat yang benar dari segala sesuatu di dalam tatanan penciptaan sehingga membimbing ke arah pengenalan dan pengakuan akan tempat tuhan yang tepat di dalam tatanan wujud dan kepribadian.

4) Berdasarkan hasil seminar pendidikan islam si-indonesia pada tanggal 7 s/d 11 mai 1960 di cipayung bogor mengatakan pendidikan islam adalah bimbingan terhadap rohani dan jasmani. Menurut ajaran islam dengan hikmah mengarahkan, mengajarkan, melatih, mengasuh, dan mengawasi berlakunya semua ajaran islam.

Dari uraian tersebut maka dapat di ambil beberapa kesimpulan pendidik berbeda pendapat menitik beratkan segi pembentukan akhlak, dan sebagian menuntut membentukan teori dan praktek, tapi juga ada persamaannya yaitu pendidikan islam adalah bimbingan yang dilakukan oleh seorang dewasa kepada pendidik dalam masa pertumbuhan agar ia memiliki kepribadian muslim

Tujuan pendidikan islam
Menurut para ahli ada bermacam-macam tujuan pedidikan pendidikan yaitu sebagi berikut:
Menurut Drs. Ahmad D. Marimba fungsi tujuan itu da empat macam yaitu
• Mengakhiri usaha
• Mengarahkan usaha
• Tujuan merupakan titik pangkal untuk mencapai tujuan baik tujuan baru maupun tujuan lanjutan dari tujuan pertama.
• Memberi nilai (sifat( pada usaha-usaha itu .
Menurut imam ghozali tujuan pendidikan yaitu membentuk insan purnama baik di dunia maupun di akhirat. Menurutnya manusia dapat mencapai kesempurnaan apabila mau berusaha mencari ilmu dan selanjutnya mengamalkan fadilah melalui ilmu pengetahuan yang di pelajarinya .

Tujuan umum pendidikan islam adalah membina peserta didik agar menjadi hamba yang suka beribadah kepada alloh dengan mau mengobankan apapun hanya untuk bukti pengabdian kepada alloh. Sedangkan tujuan khususnya adalah mampu melaksanakan rukun islam.

Dalam pendidikan islam selain tujuan umum,khusus, sementara,akhir ada juga tujuan operasional yaitu menumbuhkan pola kepribadian manusia yang bulat melalui latihan kejiwaan, kecerdasan otak, penalaran, perasaan, dan indra.dalam tujuan ini peserta didik lebih banyak di tuntut untuk menonjolkan kemampuan pribadinya misalnya ia dapat berbuat, terampil melakukan, lancar mengucapkan, mengerti, mamahami, manghayati adalah sesuatub yang sangat kecil. Sehingga apabila penerapan insane kamil sudah ada pada diri anak ketika masih kecil akan terbentuklah insane kamil yang sempurna

masalah masalah pendidikan islam di Indonesia
masalah yang sudah sering terjadi dan ironisnya sampai sekarang masalah itu belum selesai untuk di perbincangkan adalah adanya dikotomi dalam system pendidikan dan ironisnya semua menganggap sebagai system penddikan yang modern dan tentunya sesuai dengan perkembangan zaman. Hal ini seharusnya tidaklah terjadi karena dualisme dikotomik yaitu system pendidikan barat yang di nasionalisasikan dengan menambah beberapa mata pelajaran islam.yang berasal dari zaman klasikyang tidak di perbaharui secara mendasar, mempunyai arah yang bertolak belakang.

Tidak perlu diterimanya system ini karena sejarah sudah membuktikan bahwa system pendidikan barat sering merusak islam yang pastinya akan menjadi penghambat dalam melendingkan islam secara kaffah dalam kehidupan umat.sejarah mencatat bahwa orang barat dahulu belajar kepada umat islam tapi sekarang sejarah justru terbalik orang islam belajar di barat .semua itu terjadi karena orang barat mampu mengolah epistemologiyang mereka pelajari di islam sedangkan orang islam hanya berpangku tangan melihat itu semua orang islam tidak mampu melahirkan cendikiawan yang mampu mengolah epistimologi sehingga dapat melahirkan karya-karya baru yang bisa berguna bagi umat manusia di dunia

Pendidikan islam kita sekarang ini setidak-tidaknya sedang dihadapkan pada empat masalah besar: masalah mutu, masalah pemerataan, masalah motivasi dan masalah keterbatasan sumberdaya dan sumberdana pendidikan.

1) Secara umum pendidikan kita sekarang ini tampaknya lebih menekankan pada akumulasi pengetahuan yang bersifat verbal dari pada penguasaan keterampilan, internalisasi nilai-nilai dan sikap, serta pembentukan kepribadian. Di samping itu kuantitas tampaknya lebih diutamakan dari pada kualitas. Persentase atau banyaknya lulusan lebih diutamakan daripada apa yang dikuasai atau bisa dilakukan oleh lulusan tersebut.

2) Pola motivasi sebagian besar peserta didik lebih bersifat maladaptif daripada adaptif. Pola motivasi maladaptif lebih berorientasi pada penampilan (performance) daripada pencapaian suatu prestasi (achievement) (Dweck, 1986), suatu bentuk motivasi yang lebih mengutamakan kulit luar daripada isi. Ijazah atau gelar lebih dipentingkan daripada substansi dalam bentuk sesuatu yang benar-benar dikuasai dan mampu dikerjakan.

3) Kualitas proses dan hasil pendidikan belum merata di seluruh tanah air. Masih ada kesenjangan yang cukup besar dalam proses dan hasil pendidikan di kota dan di luar kota, di Jawa dan di luar¸antar lembaga diknas dan depag yang begitu berbeda dalam pengelolaannya. Pendidikan kita sekarang ini masih belum berhasil meningkatkan kualitas hasil belajar sebagian besar peserta didik yang pada umumnya berkemampuan sedang atau kurang. Pendidikan kita mungkin baru berhasil meningkatkan kemampuan peserta didik yang merupakan bibit unggul.

4) Pendidikan kita sekarang, juga masih dihadapkan pada berbagai kendala, khususnya kendala yang berkaitan dengan sarana/prasarana, sumberdana dan sumberdaya, di samping kendala administrasi dan pengelolaan. Administrasi serta system pengelolaan pendidikan kita pada hakikatnya masih bersifat sentralistis yang sarat dengan beban birokrasi. Oleh karena itu persoalan-persoalan pendidikan masih sulit untuk ditangani secara cepat, efektif dan efisien.

Apabila kondisi pendidikan seperti ini berlangsung terus dan tidak bisa diubah, disangsikan apakah bangsa kita dapat bersaing dengan bangsa lain pada masa-masa yang akan datang. Dalam menghadapi persaingan dalam mengejar keunggulan, khususnya keunggulan dalam bidang ekonomi, manusia Indonesia harus bisa ditingkatkan kualitasnya. Manusia yang berkualitas hendaknya tidak diartikan sebagai manusia yang sekedar berpengetahuan luas, melainkan juga manusia yang terampil, ulet, kreatif, efisien dan efektif, sanggup bekerja keras, terbuka, bertanggung jawab, punya kesadaran nilai dan moral, di samping tentu saja beriman dan taqwa. Di samping itu, haruslah diupayakan agar sebagian besar manusia Indonesia dapat memiliki sifat-sifat tersebut. Sebagai suatu perbandingan, keberhasilan pendidikan Jepang terletak pada kesanggupannya meningkatkan kemampuan sebagian besar anak didik mereka dengan cara mendorong dan mengajar mereka bekerja keras sejak awal untuk mencapai prestasi yang maksimal dan tidak semata-mata mengandalkan pada bakat dan kemampuan alamiah. Sebaliknya, pendidikan Amerika lebih mengandalkan hasil pendidikannya dari anak-anak yang memiliki kemampuan tinggi (Gordon, 1987; Sidabalok, 1989).

Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 telah meletakkan landasan bagi pembangunan system pendidikan Nasional yang dapat dijadikan sebagai titik acuan dalam pengembangan pendidikan lebih lanjut. Apabila kita percaya bahwa kemampuan survival bangsa kita di masa-masa yang akan datang ditentukan oleh kualitas sumberdaya manusia yang dimilikinya, begitu juga apabila kita percaya bahwa pendidikan merupakan cara terbaik untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusia, maka system pendidikan Nasional harus diupayakan agar dapat memecahkan masalah serta mengatasi kendala-kendala yang disebutkan di atas.


Usaha-Usaha Ke Arah Pemecahan Masalah
Sesuai dengan masalah-masalah yang telah dikemukakan di atas, maka tugas utama dalam pelaksanaan system pendidikan sehingga dapat menghasilkan tenaga kerja berkualitas yang kompetitif untuk bersaing setidak-tidaknya dengan tenaga kerja lain di diknas. Perjuangan dalam meningkatkan mutu pendidikan menuntut adanya kerja keras dari semua tenaga kependidikan serta kerjasama antara sesama pendidik

Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional tidak secara eksplisit mengatur masalah mutu pendidikan, melainkan hanya menyebutkan faktor-faktor yang secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi mutu pendidikan, seperti: tujuan pendidikan, peserta didik, tenaga kependidikan, sumberdaya pendidikan, kurikulum, evaluasi, pengelolaan dan pengawasan.

Mangieri (1985 : 1) menyebutkan 8 faktor yang paling sering disebut-sebut sebagai faktor yang mempengaruhi mutu pendidikan. Kedelapan faktor tersebut adalah; kurikulum yang ketat, guru yang kompeten, ciri-ciri keefektifan, penilaian, keterlibatan orang tua dan dukungan masyarakat, pendanaan yang memadai, disiplin yang kuat, dan keterikatan pada nilai-nilai tradisional. Komisi Nasional mengenai keunggulan dalam bidang pendidikan Amerika dalam laporannya yang terkenal berjudul A Nation at risk merekomendasikan bahwa keunggulan (exelence) dalam bidang pendidikan dapat diwujudkan melalui cara-cara berikut: menambah banyaknya pekerjaan rumah, mengajar siswa sejak permulaan keterampilan belajar dan bekerja, melakukan pengelolaan kelas yang lebih baik, sehingga waktu sekolah bisa dimanfaatkan semaksimal mungkin, menerapkan aturan yang tegas mengenai tingkah laku di sekolah dan mengurangi beban administrasi guru.

Persoalan kedua adalah bagaimana mendemokratiskan system pendidikan dalam arti yang sesungguhnya. Semua pasal 4, 5, dan 6 UU No. 20 Tahun 2003 mengatur agar sistem pendidikan Nasional kita memberikan kesempatan yang sama kepada semua warga negara untuk memperoleh pendidikan secara demokratis. Namun dalam praktek, kesempatan tersebut baru terbatas pada kesempatan yang sama dalam memperoleh pendidikan - yang cukup banyak diantaranya masih berkualitas rendah - belum kesempatan yang sama untuk memperoleh pendidikan yang berkualitas tinggi. Pendidikan yang rendah kualitasnya tidak banyak artinya dalam kehidupan. Karena kualitas ditentukan oleh biaya, pendidikan yang berkualitas baru bisa dinikmati oleh sebagian kecil warganegara yang memiliki kelebihan dalam kemampuan intelektual maupun kemampuan ekonomis.

Usaha untuk mendemokratiskan serta memeratakan kesempatan memperoleh pendidikan yang berkualitas antara lain dapat dilakukan dengan menstandardisasikan fasilitas lembaga penyelenggara pendidikan dan menyelenggarakan kewajiban belajar. Semua lembaga pendidikan yang sejenis, apakah lembaga pendidikan tersebut berada di Jawa atau di luar Jawa perlu diusahakan agar memiliki fasilitas pendidikan yang setara dan seimbang: antara lain dalam bentuk gedung yang memadai, perlengkapan serta peralatan belajar yang mencukupi, kualifikasi guru yang memenuhi syarat dengan system insentif yang mendorong kegairahan kerja, dan satuan pembiayaan yang sesuai dengan kebutuhan nyata. Standarisasi fasilitas dan kondisi pendidikan diharapkan dapat menghasilkan standardisasi mutu. Dengan cara ini pada saatnya nanti, anak-anak yang berdomisili di luar Jawa tidak banyak lagi yang menginginkan bersekolah di Jawa, karena mutu pendidikan di daerah mereka setara atau malahan lebih tinggi dibandingkan dengan mutu pendidikan di Jawa.

Kewajiban belajar merupakan upaya lain untuk mendemokratiskan kesempatan memperoleh pendidikan. Melalui kewajiban belajar yang diselenggarakan dan dibiayai oleh negara, semua anak Indonesia akan memperoleh kesempatan untuk mengikuti pendidikan sampai pada usia atau tingkat pendidikan tertentu. Melalui kewajiban belajar usaha untuk menaikkan tingkat pendidikan sebagian besar warga-negara dapat dilakukan secara lebih cepat. Pasal 34 ayat 1 UU No. 20 Tahun 2003 menyatakan bahwa setiap warganegara yang berusia 6 (enam) tahun dapat mengikuti program wajib belajar.

Sementara itu ayat 2 menegaskan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya. Bahkan pada ayat 3 mengatakan bahwa wajib belajar itu merupakan tanggung jawab negara. Mengingat demikian vitalnya peranan wajib belajar dalam upaya peningkatan kemampuan warganegara, maka peraturan pemerintah yang akan mengatur pelaksanaannya perlu segera dikeluarkan, sebagaimana yang dicantumkan dalam pasal 4 pasal 34.

Sulit diterima kalau ada orang yang mengatakan bahwa anak-anak yang hidup pada masa sekarang ini kurang cerdas bila dibandingkan dengan anak-anak dari generasi sebelumnya. Namun demikian, ada bukti-bukti yang menunjukkan bahwa prestasi belajar anak-anak sekarang ini untuk beberapa bidang studi tertentu cukup memprihatikan. Satu-satunya alasan yang bisa dipergunakan untuk menerangkan gejala ini adalah bahwa mereka kurang memiliki motivasi untuk belajar. Mereka pada umumnya kurang tekun, cepat menyerah kalau menghadapi kesulitan, dan lebih menyukai pelajaran yang mudah daripada pelajaran yang sukar. Oleh karena itu, adalah merupakan tanggung jawab semua pendidik untuk menanamkan kesadaran kepada peserta didiknya akan pentingnya usaha dan kerja keras dalam belajar.

Daftar pustaka

Zakiyah daradjat, ilmu pendidikan islam,bumi aksara,Jakarta,2006.
nur uhbiya dan abu ahmadi, ilmu pendidikan islam 1,pustaka setia,bandung,1997
Drs. Ahmad D. Marimba, pengantar filsafat pendidikan islam, PT. Al-Ma’arif, bandung, 1980
abuddin nata, managemen pendidikan mengatasi kelemahan pendidikan islam di Indonesia,kencana,Jakarta 2003
muslih usa,pendidikan islam di Indonesia,tiara wacana yogya,1991

read more “Problematika Pendidikan Islam”

Dinasti Umayyah

Pendidikan Islam pada masa dinasti umayyah tentunya sudah banyak berbeda dengan masa rosululloh dam masa khulafaur rasyidin karena pada masa ini pendidikan sudah cukup berkembang, tidak hanya pada ilmu agama tapi juga sudah pada bidang teknologi.sedangkan pada sistem pendidikannya masih sama pada masa yang dahulu yaitu "kuttab" yang di pusatkan dalam masjid.pendidikan pada masa ini sudah bisa berkembang karena segala potensi yang ada pada umat Islam di kembangkan melalui kebudayaan yang di dasari dengan nilai-nilai Islam.sehingga pada masa ini pendidikan sudah bisa di katakana sebagai Islam masa berkembang yang tentunya menjadi awal berkembang Islam masa dinasti abbasiyah.

1.2 Rumusan Masalah
• Bagaiman terbentuknya khalifah bani umayyah?
• Bagaiman sistem pendidikan pada masa dinasti bani umayyah?
• Apa sebab bani umayyah mengalami kemunduran?

1.3 Tujuan
Dengan mengerti sejarah pendidikan pada masa daulah umayyah di harapkan kita bisa belajar dari sejarah untuk bisa mengembangkan pendidikan Islam

BAB II
PEMBAHASAN


2.1 Terbentuknya Khalifah Bani Umayyah
Pendiri bani umayyah adalah mu'awiyah yang merupakan putra dari abu sufyan bin harb ibn umayyah ibn abdu syam ibn abd manaf dan ibunya hindun binti utbah ibn robi'ah abn abd syam abn abd manaf. Ia mempunyai kekerabatan dengan Nabi muhamad SAW. ia masuk Islam ketika terjadinya fathul makkah yang ketika itu ia berusia 23 th.
Muawiyah di angkat menjadi anggota penulis wahyu. Beliau banyak meriwayatkan hadist baik yang langsung dari rosul maupun dari sahabat terkemuka dan saudaranya habibah binti abu sufyan yang merupakan salah satu istri rosululloh, abdulloh ibn abbas, said ibn musayyab dan lain-lainnya.
Pada saat khalifah abu bakar memerintah, yasid ibn abu sufyan saudara mu'awiyah di angkat menjadi panglima di salah satu dari empat divisi yang di kerahkan khalifah abu bakar untuk menaklukkan daerah kota syam,setelah penaklukan kota itu, muawiyah di kirim untuk memimpin tentara bantuan untuk yazid. Mu'awiyah bertempur di bawah pimpinan saudaranya dan ia memimpin lascar Islam dalam penaklukan kota sidon, bairot, dan lainnya yang terletak di pantai damaskus.
Setelah kaum muslim mencapai kemenangan pada masa khalifah umar yazid ibn abu sufyan dui angkat menjadi guberbur yordania. Ketika yazid meninggal dunia khalifah umar menggabungkan daerah damsyik dalam dalam wilayah kekuasaan muawiyah. Mu'awiyah di kenal sebagai pemimpin yang ber kepribadian kuat, jujur, ahli dalam bidang politik. Hal inilahyang membuat khalifah umar suka dan cinta kepadanya .
Pada masa khalifah usman bin affan semua daerah syam di serahkan pada bani muawiyah ia di beri kewenangan untuk mengangkat dan membarhentikan pejabat yang membantunya. Dengan demikian ia berhasil mejadi gubernur selama 20 tahun setelah itu berhasil pula menjadi khalifah selama 20 tahun
Dengan demikian dapat di simpulkan bahwa keberhasilan mu'awiyah bukan hanya bermula dari hasil berdiplomasi yang terjadi pada perang siffin serta terbunuhnya khalifah ali bin abi thalib melainkan semenjak ia menjadi guberbur yang memiliki kemampuan dalam mengatur administrasi dalam pemerintahan yang memang terlihat semenjak masa rosululloh.
Pemerintahan pada masa ini bersifat monarchiheridetis (kerajaan turun temurun). Suksesi kepemimpinan secara turun temurun di mulai ketika muawiyah mewajibkan seluruh rakyatnya untuk menyatakan setia terhadap anaknya, yazid.ia bermaksud mengikuti sistem di persia dan bizantium.dia masih tetap menggunakan isltilah khalifah tapi dengan menambahkan "khalifah alloh" dalam pengertian penguasa yang di angkat oleh alloh.
Dinasti umayyah berkuasa selama 90 tahun (41H -132 H), ibu kotanya di pindahkan dari madinah ke damaskus.khalifah-khalifah yang pernah berkuasa di antaranya muawiyyah ibn abu sufyan (661-380 M), abdul malik abn marwan (685-705M), walid ibn abdul malik (705-715 M), umar ibnabdul aziz (717-720 M), hasyim ibn abdul malik (724-743 M)

2.2 Sistem Pendidikan Bani Umayyah
Periode dinasti umayyahmerupakan masa inklubasi. Pada masa ini peletakan dasar-dasar dari kemajuan pendidikan di munculkan intelektual muslim berkembang pada masa ini. pola p[endidikannya bersifat desentralisasi tidak memiliki tingkatan dan standar umur. Kajian keilmuan di pusatkan di damaskus, kuffah (irak), madinah, mesir, kordova, basrah, damsyik, palestina (syam), fistad (mesir).
Ilmu-ilmu yang di kembangkan pada saat itu adalah kedokteran, filsafat, astronomi, ilmu pasti, sastra, seni. Jadi pada masa ini tidak hanya di madinah seperti pada masa Nabi dan khulafaur rasyidin, tapi ilmu sudah mengalami ekspansi seiring dengan ekspansi territorial.pada sistem pandidikannya formatnya masih sama yaitu dengan sistem kuttab tempat anak-anak belajar membaca dan menulis alqur'an serta ilmu agama Islam lainnya.jika pada masa rosululloh dan khulafaur rasyidin metode kuttab guru tidak di bayar tidak pada masa umayyah karena pada masa ini guru di bayar karena sistem perekonomian juga sudah maju.
Banyak Penguasa yang membayar para guru untuk mengajari anak-anaknya bahkan ada juga yang menyediakan tempat bermukim di dalam istana. Tapi juga masih ada yang menggunakan cara lama yaitu belajar di pekarangan masjids terutama bagi siswa yang orang tuanya berlatar belakang ekonomi lemah.sehingga guru tidak di gaji melainkan dapat penghargaan dari masyarakat, dan materi yang di ajarkan pada umumnya diambil dari syair dan sastra arab
Bentuk pendidikan pada masa bani umayyah :
1. pendidikan istana, pendidikan tidak hanya tingkat rendah tetapi juga pengajaran tingkat tinggi sebagaimana halaqoh, masjid dan madrasah,guru istana di sebut muaddib, tujuan pendidikan istana bukan hanya mengajarkan ilmu pengetahuan bahkan seorang muaddib harus memiliki kecerdasan hati dan jasmani anak. Adapun pelajaran di istana adalah Alqu'an, hadist, syair, riwayat hukama, menulis membaca dan lain-lain
2. badiah, dengan adanya arabisasi oleh khalifah abdul malik ibn marwan maka muncullah istilah badi'ah yaitu dusun badui di padang yang asih fasih bahasa arabnya dan murni yang sesuai dengan kaidah yangh benar. Yang akibatnya muncullah qowait dan cabang ilmu lainnya untuk mempelajari bahasa arab
3. bamaristan (rumah sakit tempat berobat dan merawat orang serta tempat studi kedokteran).
Di antara ilmu pengetahuan yang berkembang pada masa ini adalah ilmu agama, ilmu sejarah dan geografi, ilmu bahasa, filsafat . Khalifah khalid bin walid mendirikan sekolah kedokteran ia melarang penderita kusta meminta-miinta di jalan bahkan ia menjamin kehidupan anak yatim dan terlantar. Ilmu pengetahuan merupakan suatu keahlian yang masuk pada bidang pemahaman dan pemikiran yang memerlukan sistematika dalam penyusunannya. Golongan non-arab sudah terbiasa dengan keahlian ini yang di sebut golongan mawalli yaitu golongan yang berasal dari bangsa asing dan keturunannya.kata mawalli berasal dari maula yaitu budak tawanan perang yang sudah di merdekakan. Dalam perkembangan selanjutnya mawali di pergunakan buat orang non-arab .

2.3 Kemunduran Dinasti Umayyah
Beberapa faktor yang menyebabkan bani umayyah hancur diantaranya :
a. sistem pergantian khalifah sesuai garis keturunan adalah sesuatu yang baru bagi masyarakat arab yang lebih menekankan aspek senioritas.
b. terbentuknya bani umayyah tidak bisa di pisahkan dari konflik politik pada masa ali. Sehingga orang yang tidak rela terbunuhnya ali dendam dan menghancurkan dari dalam.
c. pertentangan etnis antara bani qays dan bani kalb yang sudah sejak zaman sebelum Islam makin meruncing sehingga untuk menggalang persatuan dan kesatuan sangatlah sulit.
d. sikap hidup mewah di lingkungan istana sehingga anak-anak khalifah tidak sanggup memikul berat kenegaraan tatkala mewarisi kekuasaan.
e. munculnya golongan yang di pelopori al-Abbas ibn abd al-muthalib yang mendapat dukungan dari berbagi pihak termasuk bani hasyim, syiah, mawali yang merasa di kelas duakan oleh bani umayyah.
Dinasti muawiyah mengalami kemunduran pada kepemimpinan khalifah walid bin yazid karena terjadinya peperangan yang dilakukan oleh bani abbas yang terjadi pada tahun 132 H atau 750 M.

Daftar pustaka
Suwito dan fauzan, sejarah sosial pendidikan Islam. kencana
Musyrifah sunanto, sejarah Islam klasik perkembangan ilmu pengetahuan Islam, kencana, jakarta, 2004 hal. 41-42
Mahmud yunus, sejarah pendidikan Islam hidakarya agung, Jakarta,1992 hal.82-95
Samsul Nizar, sejarah dan pergolakn pemikiran pendidikan Islam potret timur tengah era awal dan Indonesia, quantum teaching, jakarta, 2005 hal.7
Badri yatim, sejarah peradapan Islam, rajawali pers, Jakarta 1993, hal. 43
Ahmad syalabi, sejarah dan kebudayaan Islam 2, Pustaka Al-Husna, Jakarta,1982, hal. 35
Abu a'la Al-maududi,khilafah dan kerajaan,mizan, bandung, 1984 hal. 42


read more “Dinasti Umayyah”

Psikologi

Stres merupakan perilaku yang sering dialami oleh setiap manusia, baik tua ataupun muda, kaya ataupun miskin. Stres adalah perilaku yang sering dialami oleh setiap manusia, baik tua atau muda, kaya atau miskin. Stres adalah POLA perilaku dimana orang yang mengalaminya akan cenderung menutup diri, menjauhkan diri, maupun akan memberontak terhadap keadaan yang dialaminya. Stres adalah pola perilaku di mana orang akan cenderung untuk menutup mengalaminya sendiri, malu, dan akan memberontak terhadap situasi yang dialaminya.

Setiap orang dapat mengalami stres, Namun kadar stres seseorang bergantung pada tingkat masalah maupun tingkat kemampuan diri untuk mengatasi stres. Setiap orang dapat mengalami stres, tetapi tingkat stres tergantung pada tingkat masalah dan tingkat kemampuan untuk mengatasi stres sendiri.

Stress merupakan penyakit yang berbahaya karena stres dapat memicu berbagai penyakit lainnya seperti hipertensi, jantung, maupun komplikasi lainnya. Stress adalah penyakit berbahaya karena stres dapat memicu berbagai penyakit lain seperti hipertensi, jantung, atau komplikasi lainnya. Setiap orang memiliki metoda untuk mengatasi stress yang dialaminya, seperti banyak berdoa maupun berolahraga, tidak sedikit pula yang berkonsultasi ke psikolog. Dan stress tanpa distress lebih baik sebagai metoda menyembuhkan gangguan kejiwaan ini.

Psikologi dapat diartikan pula dengan “Ilmu yang mempelajari prilaku manusia atau tingkah laku manusia”. Setelah Psikologi berkembang luas dan dituntut mempunyai ciri-ciri sebagai suatu disiplin ilmu pengetahuan, maka “Jiwa” dipandang terlalu abstrak. Ilmu pengetahuan menghendaki objeknya bisa diamati, dan dicatat dan diukur. Dan ternyata perilaku dianggap lebih mudah diamati, dicatat dan diukur. Meskipun demikian, arti perilaku ini diperluas tidak hanya mencakup perilaku “kasat mata” seperti : makan, membunuh, menangis dan lain-lain, tetapi juga mencakup perilaku “tidak kasat mata” seperti : fantasi, motivasi, contoh (mengapa membunuh?), atau proses yang terjadi pada waktu seseorang tidak bergerak (tidur) dan lain-lain.

“Prilaku” mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
1. Perilaku itu sendiri kasat mata, tetapi penyebabnya mungkin tidak dapat diamati langsung.
2. Prilaku mengenal berbagai tingkatan. Ada prilaku sederhana dan Stereotip seperti prilaku binatang satu sel, ada juga prilaku yang kompleks seperti dalam prilaku sosial manusia. Ada prilaku yang sederhana seperti refleks, tetapi ada juga yang melibatkan proses-proses mental-fisiologis yang lebih tinggi.
3. Prilaku bervariasi menurut jenis-jenis tertentu yang bisa diklasifikasikan. Salah satu klasifikasi yang umum dikenal adalah: Kognitif, afektif dan psikomotorik, masing-masing merujuk pada yang sifatnya rasional, emosional, dan gerakan-gerakan fisik dalam berprilaku.
4. Prilaku bisa disadari dan tidak disadari. Walau sebagian besar perilaku sehari-hari kita sadari, tetapi kadang-kadang kita ternyata pada diri sendiri mengapa kita berprilaku seperti itu.

B. Hubungan Psikologi dengan Disiplin Ilmu Lain
Prilaku manusia tidak hanya dipelajari oleh psikologi, tetapi juga oleh Antropologi, Kedokteran, Sosiologi, manajemen dan beberapa cabang Linguistik. Semua ini dikelompokan kedalam keluarga besar “Ilmu-Ilmu Prilaku” (Behavioral Sciences). Yang membedakan Psikologi dari ilmu-ilmu prilaku lain adalah : bahwa psikologi lebih menaruh perhatian pada prilaku manusia sebagai individu, sedang antropologi, sosiologi dan manajemen lebih pada prilaku manusia sebagai kelompok. Kedokteran memang menaruh perhatian pada prilaku individu, tetapi lebih menekan gejala-gejala fisik dan Psikologi lebih pada gejala-gejala mental.

Di pihak lain, Psikologi juga dipandang sebagai Ilmu Biososial karena baik aspek-aspek sosial perilaku organisme maupun aspek-aspek Fisiologis atau Biologis terjadinya prilaku mendapat perhatian yang sama besarnya.

Sejak awal perkembangannya Psikologi banyak dipengaruhi oleh ilmu-ilmu lain. Telah diakui bahwa psikologi berinduk kepada Filsafat, khususnya filsafat mental. Namun dalam perkembangan selanjutnya ilmu-ilmu (Beta) seperti Fisika, Kimia dan Biologi memberikan andil yang cukup besar baik dalam aspek metodologi maupun topik-topik kajian. Sulit untuk merinci pengaruh tersebut satu persatu. Berikut ini sekedar gambaran umum dari pengaruh ilmu-ilmu lain serta cabang-cabang Psikologi yang lahir dari singgungan tersebut diatas.

C. Hubungan Psikologi dengan Tugas Pekerjaan
Hubungan Psikologi dengan pekerjaan sangat erat sekali untuk menghasilkan pekerjaan yang baik dan maksimal harus ditunjang atau diiringi oleh prilaku atau tingkah laku yang positif, yakni didukung dengan mental yang seimbang, yang tidak mengakibatkan penyimpangan-penyimpangan norma-norma dan nilai-nilai hukum yang ada.
- Hubungan Psikologi dengan Seorang Guru
Untuk masa sekarang ini banyak sekali kejadian-kejadian yang sangat merusak nilai-nilai dan norma-norma hukum agama maupun hukum negara yang menimpa dunia pendidikan, baik pendidiknya maupun anak didiknya. Yang mana semua itu akibat dari sumber daya manusianya sendiri (SDM) yang tertekan mentalnya oleh krisis-krisis yang terjadi baik krisis agama, krisis ekonomi, krisis budaya dan krisis hukum. Untuk itu hanya ada satu jalan keluar yang terbaik yakni SDM (Sumber Daya Manusia)nya harus kembali kepada norma-norma agama agar melahirkan SDM atau seorang pendidik yang berjiwa atau bermental positif dan seimbang. Dan yang sangat penting juga adalah dukungan dan peran serta pemerintah harus segera memperbaiki krisis agama, krisis ekonomi dan krisis budaya dan krisis hukum.

Akan tetapi semua itu akan sulit terwujud apabila masing-masing individunya tidak mau merubahnya.
- Hubungan psikologi dengan seorang POLISI / TNI
Untuk Hubungan Psikologi dengan seorang Polisi atau TNI tidak akan jauh beda dengan gambaran yang sudah di jelaskan di atas, karena pada kenyataannya fenomena-fenomena yang terjadi di dalam tubuh Polisi atau TNI disebabkan oleh krisis-krisis aturan dan sistem-sistem yang dibuat oleh manusia yang memiliki prilaku dan mental yang rusak yang didorong oleh krisis agama (yakni jiwa yang lepas dari aturan ajaran-ajaran agama) ; krisis ekonomi (yakni karena terdorong banyak kekurangan dan kesulitan dalam mencukupi nafkahnya, sehingga mereka terpaksa melakukan prilaku-prilaku yang bertentangan dengan nilai-nilai dan hukum-hukum yang ada); Krisis budaya (yakni mereka harus mengikuti tradisi-tradisi yang masih mengiblat kepada tradisi dan sistem-sistem peraturan pada zaman kolonial); krisis hukum ( yakni berlakunya hukum yang tidak tegas dan tidak pasti).

D. Metode Pengenalan Tingkah Laku Manusia
Istilah metode memiliki kesamaan pengertian dengan prosedur, tata cara, alat, dan tehnik. Dalam metode penelitian yang digunakan psikologi memiliki kesamaan dengan metode yang digunakan oleh sains. Metode digunakan sejauh mampu menggali tingkah laku sebagai objek kajian psikologi. Metode ilmiah mendapat tekanan sebagai metode penelitian psikologi agar proses menjaring data, Uji Hipotesis, dan teori bukan saja menghasilkan sebuah temuan yang bersifat deskriptif, namun demi pengembangan psikologi sendiri sebagai sebuah disiplin Ilmu.

Beberapa macam metode Psikologi, sebagai berikut :
1. Metode Observasi, yakni metode penelitian yang digunakan untuk mempelajari dan mengomentari gejala-gejala kejiwaan secara cermat teliti dan sistematis. Observasi terdapat empat macam tehnik antara lain :
a. Natural Observasi, yakni penelitian yang dilakukan secara alamiah. Yang dimaksud dengan alamiah adalah tindakan atau situasi yang terjadi spontan alias tidak dibuat-buat.
b. Intropeksi (restropeksi), secara harfiah Intro berarti “dalam”, retro berarti “kembali” dan Spektro berarti “melihat”. Tehnik Intropeksi (restropeksi) adalah tehnik untuk melihat gejala psikis diri sendiri
c. Ekstropeksi, yakni tehnik yang mempelajari gejala dengan jalan mempelajari peristiwa-peristiwa atau proses-proses psikis orang lain secara seksama dan sistematis dengan menggali apa yang sebenarnya yang ada di balik ekspresi atau tingkah laku seseorang seperti perubahan roman muka dan gerak-gerik postur tubuh. Contoh ketika seseorang ketakutan biasanya menunjukan muka pucat atau lari sekencang-kencangnya

2. Metode Dukomen, yakni metode yang digunakan Untuk menyelidiki gejala- gejala kejiwaan manusia dengan cara mengumpulkan bahan-bahan atau dokumen catatan kehidupan seseorang sebanyak-banyaknya, kemudian di bandingkan dan di analisis, lalu ditarik kesimpulan-kesimpulan umum. Tehnik yang sering di gunakan dalam metode ini antara lain : (a) penyebaran angket; (b) Riwayat Hidup (biografi); (c) tehnik projective Test, yakni mengumpulkan dokumen mengenai permainan-permainan, gambar-gambar, karangan-karangan untuk kemudian dilakukan tes sesuai dengan intruksi permainan atau gambar untuk menemukan gambaran umum keadaan jiwa seseorang.

3. Metode klinis, Dinamakan metode klinis pertama kali digunakan dirumah adalah : si pasien sakit sebagai bagian proses penyembuhan penyakit. Keuntungan dari metode ini adalah bahwa si pasien di periksa berhadapan dengan penyidik atau Dokter, sehingga ia bisa memberikan respon secara langsung dari pertanyaan-pertanyaan yang diajukan, dengan catatan agar suasana tanggung jawab dibuat serileks mungkin untuk menjaga agar jalan pikiran yang diselidiki tidak terganggu. Metode klinis dapat dilakukan di rumah sakit, pusat gangguan jiwa, rumah pemasyarakatan, pusat rehabilitasi Narkoba, Klinik atau badan Biro lembaga konsultasi, bimbingan penyuluhan psikologi.

4. Metode Eksperimen, metode ini biasanya dilakukan dalam laboratorium melalui Eksperimen (Percobaan). Eksperimen dilakukan untuk menguji hipotesis tentang reaksi-reaksi individu atau kelompok dalam situasi tertentu untuk menentukan gejala-gejala jiwa tertentu secara umum seperti pikiran, kemauan, ingatan, potensi, dan sebagainya. Melalui metode ini dapat pula diketahui perbedaan kapasitas individual, kondisi mental, bakat dan watak seseorang.

E. Gejala-gejala Kejiwaan Pada Manusia Normal
Jiwa manusia merupakan satu totalitas yang tidak bisa dibagi-bagi dan dipisah-pisahkan, di ibaratkan seperti rangkaian-rangkaian yang saling berkaitan satu sama lain dan tentu juga jiwa tidak bisa berdiri sendiri.
Jiwa yang ada pada manusia secara garis besar di bagi menjadi :
1. An naps Al Muthmainnah “(Jiwa yang tenang)” Yakni jiwa yang senantiasa patuh dan tunduk kepada perintah Allah SWT.
2. An naps Al Lawwamah “(Jiwa yang menyesali dirinya sendiri)” yakni Nafsu yang senatiasa gelisah dan tidak pernah puas terhadap apa yang dilakukannya.
3. An naps Al Ammaroh “(Jiwa yang selalu menyuruh kejahatan)” yakni, nafsu yang sentias patuh dan tunduk pada ajakan syahwat dan setan.
Macam-macam kegiatan Jiwa memiliki ciri-ciri khusus yang mencangkup konasi, kognisi, dan emosi. Yang disebut dengan gejala campuran kegiatannya meliputi perhatian, keletihan, dan sugesti.

A. Perhatian, yaitu kegiatan jiwa yang terpusat pada objek tertentu baik didalam maupun diliuar dirinya. Perhatian sangat erat hubungannya dengan kesadaran. Pehatian dari satu objek biasanya selalu bermula dari adanya kesadaran terhadap objek yang menjadi sasaran kita.

Proses-prose yang dapat menumbuhkan perhatian yaitu :
1. Proses Inhibisi, yaitu menghilangkan isi kesadaran yang tidak ada hubungannya dengan objek yang akan menjadi sasaran perhatian kita.

2. Proses Apersepsi, yakni berusaha untuk mendatangkan dan mengerahkan isi kesadaran kita hanya pada satu objek saja yang telah menjadi sasaran kita agar bisa membuat perhatian kita menjadi terfokus.

3. Proses adaptasi, yakni kita harus bisa menyesuaikan isi keadaan dengan kondisi objek sasaran kita tersebut. Sehingga tidak akan terjadi simpang siur atau pertentangan yang bisa menghambat atau mengganggu perhaitan kita.

B. Keletihan (kelelahan). Di dalam kehidupan kita sehari-hari manusia pasti memiliki alat penggerak di dalam dirinya untuk bisa melakukan kegiatan–kegiatan atau aktivitas-aktivitas. Alat penggerak tersebut akan mengalami penurunan sehingga kegiatanpun semakin berkurang dan menurun.
Gejala menurun dan berkurangnya daya penggerak disebut : keletihan atau kelelahan. Kelelahan menyebabkan segala fungsi jasmaniah dan rohaniah menjadi tidak efesien. Kelelahan mempunyai fungsi khusus yaitu sebagai pengatur kondisi tubuh kita

C. Sugesti adalah pengaruh yang berlangsung terhadap kehidupan dan segenap perbuatan, perasaan pikiran atau kemauan kita sangat dibatasi, orang-orang yang sangat mudah terkena sugesti disebut sugestibel dan orang yang memiliki daya pengaruh disebut sugestif

Sugesti memiliki peran yang sangat penting dalam setiap aspek kehidupan kita karena pada dasarnya jiwa manusia selalu berubah-ubah kadang naik-kadang turun. Sehingga memerlukan dorongan sugesti yang terus menerus. Apalagi seorang pemimpin atau pendidik harus bisa memberikan dorongan sugesti kepada anak buah atau murid-muridnya dengan cara yang positif dan tepat tentunya dengan demikian dia akan disegani, dipercaya, ditaati oleh orang-orang disekitarnya kemungkinan besar dia akan berhasil dalam aktivitasnya.

Pertumbuhan ( Growth ) adalah berkaitan dangan masalah perubahan dalam besar, jumlah ukuran atau dimensi tingkat sel, organ maupun individu, yang bisa diukur dengan ukuran berat ( gram, pound ) ukurn panjang ( cm, inchi), umur tulang dan keseimbangan metabolik ( retensi kalsium dan nitrogen tubuh).
Perkembangan ( Development ) adalah bertambahnya kemampuan (skill) dalam struktur dan fungsi tubuh yang lebih kompleks dalam pola yang teratur dan dapat diramalkan, sebagai hasil dari proses pematangan. Perkembangan menyangkut adaanya proses difrensiasi dari sel-sel tubuh, jaringan tubuh, organ-organ dan sistem organ yang berkembang sedemikian rupa sehingga masing-masing dapat memenuhi fungsinya. Termasuk perkemabngan emosi, intelektual dan tingkah laku sebagai hasil interaksi dengan lingkungan.

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI
PERKEMBANGAN

1. FAKTOR TURUNAN (WARISAN)
Turunan memiliki peranan penting dalam pertumbuhan dan perkembangan anak. Ia lahir ke dunia ini membawa berbagai ragam warisan yang berasal dari kedua Ibu-Bapak atau nenek dan kakek. Warisan (turunan atau pembawaan) tersebut yang terpenting, antara lain bentuk tubuh, raut muka, warna kulit, inteligensi, bakat, sifat-sifat atau watak dan penyakit.

Warisan atau turunan yang dibawa anak sejak lahir dari kandungan sebagian besar berasal dari kedua orang tuanya dan selebihnya berasal dari nenek dan moyangnya dari kedua belah pihak (ibu dan ayahnya). Hal ini sesuai dengan hukum Mendel yang dicetuskan Gregor Mendel (1857).

a. Bentuk Tubuh dan Warna Kulit
Salah satu warisan yang dibawa oleh anak sejak lahir adalah mengenai bentuk tubuh dan warna kulit. Misalnya ada anak yang memiliki bentuk tubuh gemuk seperti ibunya, wajah seperti ayahnya, rambut keriting dan berwarna kulit putih seperti ibunya. Bila anak yang berpembawaan gemuk seperti ini, bagaimanapun susah hidupnya nanti, dia sukar menjadi kurus, tetapi sebaliknya sedikit saja ia makan, akan mudah menjadi gemuk. Demikian juga dengan rambut keriting, bagaimanapun berusaha untuk meluruskannya akhirnya akan kembali menjadi keriting.

b. Sifat-Sifat
Sifat-sifat yang dimiliki oleh seseorang adalah salah satu aspek yang diwarisi dari ibu, ayah atau nenek dan kakek. Bermacam-macam sifat yang dimiliki manusia, misalnya: penyabar, pemarah, kikir, pemboros, hemat dan sebagainya.
Sifat-sifat tersebut dibawa manusia sejak lahir. Ada yang dapat dilihat atau diketahui selagi anak masih kecil dan ada pula yang diketahui sesudah ia besar. Misalnya sifat keras (pelawan atau bandel) sudah dapat dilihat sewaktu masih berumur kurang dari satu tahun, sedangkan sifat pemawah baru dapat diketahui setelah anak lanar berbicara, yaitu sekitar 5 tahun.

c. Bakat
Bakat adalah kemampuan khusus yang menonjol di antara berbagai jenis kemampuan yang dimiliki seseorang. Kemampuan khusus itu biasanya berbentuk keterampilan atau suatu bidang ilmu, misalnya kemampuan khusus (bakat) dalam bidang seni musik, seni suara, olahraga, matematika, bahasa, ekonomi, teknik, keguruan, sosial, agama, dan sebagainya. Seseorang umumnya memiliki bakat tertentu yang terdiri dari satu atau lebih kemampuan khusus yang menonjol dari bidang lainnya. Tetapi ada juga yang tidak memiliki bakat sama sekali, artinya dalam semua bidang ilmu dan keterampilan dia lemah. Ada pula sebagian orang memiliki bakat serba ada, artinya hampir semua bidang ilmu dan keterampilan, dia mampu dan menonjol. Ornag seperti itu tergolong istimewa dan sanggup hidup di mana saja.

Bakat (kemampuan khusus) sebagaimana halnya dengan inteligensi merupakan warisan dari orang tua, nenek, kakek dari pihak ibu dan bapak. Warisan dapat dipupuk dan dikembangkan dengan bermacam cara terutama dengan pelatihan dan didukung dana yang memadai. Seseorang yang memiliki bakat tertentu sejak kecilnya, namun tidak memperoleh kesempatan untuk mengembangkannya sebab tidak memiliki dana untuk latihan, maka bakatnya tidak dapat berkembang. Hal seperti ini dikatakan bakat terpendam.

Pada umumnya anak-anak mempunyai bakat dapat diketahui orang tuanya dengan memperhatikan tingkah laku dan kegiatan anaknya sejak dari kecil. Biasanya anak yang memiliki bakat dalam suatu bidang dia akan gemar melakukan atau membicarakan bidang tersebut.

d. Penyakit atau Cacat Tubuh
Beberapa penyakit atau cacat tubuh bisa berasal dari keturunan, seperti penyakit kebutuhan, syaraf dan luka yang sulit kering (darah terus keluar).
Penyakit yang dibawa sejak lahir akan terus mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani anak.

2. ILMU WATAK (KARAKTEROLOGI)
Karakterologi adalah istilah Belanda, berasal dari kata karakter, yang berarti watak dan logos, yang berarti ilmu. Jadi karkaterologi dapat kita terjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia menjadi ilmu watak.

Kata Belanda karakter, itu berasal dari kata Yunani charassein, yang berarti (mula-mula) coretan, atau gorasan. Kemudian berarti stempel atau gambaran yang ditinggalkan oleh stempel itu.

Jadi di sini kita menganggap bahwa tingkah laku manusia adalah pencerminan dari seluruh pribadinya. Ini telah lama sekali dikenal oleh manusia.
a) Ilmu ini memang telah lama sekali dikenal oleh manusia. Yaitu telah sejak Plato, seorang ahli ilmu jiwa pada zaman Yunani kuno, ± 400 tahun sebelum Masehi. Ia adalah seorang murid Socrates, seorang ahli filsafat terbesar di zamannya.
b) Sebenarnya ada perbedaan-perbedaan prinsipil yang sering dikacaukan saja. Yaitu pengertian tentang:
1. Konstitusi jasmani,
2. Temperamen, dan
3. Watak

Karenaitu, di dalam menggolong-golongkan (mentipe) nanti juga atas tiga golongan ini. Jadi tipe-tipe manusia menurut konstitusi jasmaninya, menurut temperamennya, dan menurut wataknya.

1) Konstitusi jasmani ialah, keadaan jasmani yang secara fisiologis merupakan sifat-sifat bawaan sejak lahir. Konstitusi jasmani ini berpengaruh juga pada tingkah laku orang itu, dan merupakan sifat-sifat yang khas, asli dan tidak dapat diubah. Misalnya sifat-sifat orang bertubuh langsing, tentu berbeda dengan sifat-sifat orang bertubuh gemuk dan sebagainya.

2) Temperamen, ini dari kata temper, artinya campuran. Temperamen adalah sifat-sifat seseorang yang disebabkan adanya campuran-campuran zat di dalam tubuhnya yang juga mempengaruhi tingkah laku orang itu. Jadi temperamen berarti sifat laku jiwa, dalam hubungannya dengan sifat-sifat kejasmanian. Temperamen jiga merupakan sifat-sifat yang tetap tidak dapat dididik.

3) Watak ialah pribadi jiwa yang menyatakan dirinya dalam segala tindakan dan pernyataan dalam hubungannya dengan:
Bakat, Pendidikan, Pengalaman dan

Alam sekitarnya
Ada beberapa tokoh yang membagi manusia menurut konstitusi jasmani, temperamen dan watak yaitu:
a. Yang menurut konstitusi jasmani, dapat kita sebut antara lain:
1. Johann Gasper Lavater, seorang Jerman
2. Gall, juga ornag Jerman
b. Yang menurut temperamen, dapat kita sebut antara lain:
1. Galenus
2. Kretschmer
c. Yang menurut watak antara lain:
Tipe manusia menurut Galenus:
a. Disebut penggolongan temperamen karena Galenus membagi atas dasar campuran dari zat-zat cair yang terdapat pada tubuh manusia.
b. Menurut Galenus, di dalam tubuh manusia terdapat:
1. darah (sangai)
2. lendir (flegma)
3. empedu kuning (choleri), dan
4. empedu hitam (melanchole).
c. Berdasarkan 4 macam zat cair itu Galenus menggolongkan manusia ini juga atas 4 tipe:
1) Orang yang selalu banyak darah di dalam tubuhnya, disebut orang sanguinisi. Sifat orang itu disebut sanguinis. Yaitu: lincah, selalu riang, optimis, mudah tersenyum, dan sebagainya.
2) Orang yang terlalu banyak lendir di dalam tubuhnya disebut orang flegmentisi. Sifatnya disebut fragmatis. Yaitu tenang, bersikap dingin, sabar dan sebagainya.
3) Orang yang terlalu banyak empedu kuning di dalam tubuhnya, disebut cholerisi. Sifatnya disebut choleris yaitu garang, lekas marah, mudah tersinggung dna sebagainya
4) Ornag yang terlalu banyak empedu hitam di dalam tubuhnya disebut melancholerisi. Sifatnya disebut melancholis. Yaitu: takut-takut, mutah, pesimis, selalu khawatir dan sebagainya.
Dasar pembagian Galenus
Dasar pembagiannya itu didapat dari Hypocrates, seorang tabib pada zaman Yunani, yang menyelidiki dan menyimpulkan adanya zat-zat cair di dalam tubuh manusia. Menurut Hypocrates di dalam tubuh manusia hanya terdapat zat cair tersebut. Yang masing-masing punya sifat-sifat sendiri-sendiri yaitu:
1. darah bersifat panas
2. lendir bersifat dingin
3. empedu kuning bersifat kering, dan
4. empedu hitam bersifat basah.
3. INTELIGENSI (KECERDASAN)
a. Pengertian tentang inteligensi:
Andaikata pikiran kita umpamakan sebagai senjata, bagaimanakah kualitas dari senjata itu, tajam atau tidakkah? Membicarakan tentang tajam atau tidaknya kemampuan berpikir tidak lain kita membicarakan inteligensi (kecerdasan). Sehubungan dengan ini perlu diketahui lebih dahulu apakah intelek dan apakah inteligensi itu.
Intelek : (pikiran) dengan intelek ornag dapat menimbang, menguraikan, menghubung-hubungkan pengertian satu dengan yang lain dan menarik kesimpulan.
Inteligensi : (kecerdasan pikiran), dengan inteligensi fungsi pikir dapat digunakan dengan cepat dan tepat untuk mengatasi suatu situasi/untuk memecahkan suatu masalah. Dengan lain perkataan inteligensi adalah situasi kecerdasan berpikir, sifat-sifat perbuatan cerdas (inteligen). Pada umumnya inteligen ini dapat dilihat dari kesanggupannya bersikap dan berbuat cepat dengan situasi yang sedang berubah, dengan keadaan di luar dirinya yang biasa maupun yang baru. Jadi perbuatan cerdas dicirikan dengan adanya kesanggupan bereaksi terhadap situasi dengan kelakuan baru yang sesuai dengan keadaan baru.
b. Tingkat-tingkat Kecerdasan :
Kemampuan menyesuaikan diri dengan keadaan yang baru tidak sama untuk tiap-tiap makhluk.
Tiap-tiap orang mempunyai cara-cara sendiri. Maka dapat dikatakan, bahwa kecerdasan beringkat-tingkat. Mungkin ada berbagai-bagai tingkatan kecerdasan, tetapi dalam uraian ini hanya akan diutarakan beberapa tingkat kecerdasan anak kecil yang belum dapat berbahasa dan tingkat kecerdasan manusia.
1) Kecerdasan binatang
Pada mulanya banyak orang berkeberatan digunakan istilah inteligensi pada binatang, karena mereka hanya mau menggunakan istilah itu pada manusia saja. Menurut hasil penyelidikan para ahli, ternyata bahwa kecerdasan itu bertingkat-tingkat.
2) Kecerdasan anak-anak
Yang dimaksudkan anak-anak di sini adalah anak-anak kecil lebih kurang umur 1 tahun dan belum dapat berbahasa. Kecerdasan anak-anak dipelajari terutama berdasarkan percobaan yang telah dipraktekkan dalam menyelidiki kecerdasan binatang.
Usaha-usaha memperbandingkan perbuatan kera dengan anak-anak kecil membantu para ahli dalam mengadakan penyelidikan terhadap kecerdasan anak.
3) Kecerdasan manusia
Sesudah anak dapat berbahasa tingkat kecerdasan anak lebih tinggi daripada kera. Tingkat kecerdasan mausia (bukan anak-anak) tidak sama dengan jera dan anak-anak. Beberapa hal yang merupakan ciri kecerdasan manusia antara lain:
a) Pengguna bahasa
Kemampuan berbahasa mempunyai faedah yang besar terhadap perkembangan pribadi.
- Dengan bahasa, manusia dapat menyatakan isi jiwanya (fantasi, pendapat, perasaan dan sebagainya).
- Dengan bahasa, manusia dapat berhubungan dengan sesama, tingkat hubungannya selalu maju dan masalahnya selalu meningkat
- Dengan bahasa, manusia dapat membeberkan segala sesuatu, baik yang lalu, yang sedang dialami, dan yang belum terjadi, baik mengenai barang-barang yang konkret maupun hal-hal yang abstrak
- Dengan bahasa, manusia dapat membangun kebudayaan.

KEPRIBADIAN DAN PERKEMBANGAN

1. PERBEDAAN PENGERTIAN KEPRIBADIAN
Kalau kita mempelajari pengertian kepribadian, ternyata banyak sekali perbedaan pendapat para ahli psikologi mengenai isi dan batas-batas atau definisi kepribadian. Gordon W. Allport menemukan 49 definisi kepribadian, kemudian ia sendiri membuat satu definisi sehingga lengkap menjadi 50 definisi. Tidak hanya keseragaman dalam definisi dan terminologi kepribadian menimbulkan kesangsian pada beberapa pihak mengenai kemungkinan adanya satu ilmu pengetahuan tentang psikologi kepribadian. Di pihak lain, sebagian besar ahli psikologis justru berpendapat bahwa ketidakseragaman pengertian kepribadian merupakan dorongan kuat untuk mengadakan penyelidikan dan penelitian dalam pengembangan ilmu pengetahuan mengenai psikologi kepribadian. Kenyataan adanya keanekaragaman justru menunjukkan kekayaan jiwa manusia.

Para ahli psikologi kepribadian berbeda pendapat mengenai bagian mana dari kepribadian itu yang paling hakiki atau terpenting. Pendapat tersebut hanya dapat dijelaskan sepenuhnya dengan menelaah terlebih dahulu filsafat antropologi yang mendasarinya. Dengan kata lain menelaah jawaban atas pertanyaan: “Apakah sesungguhnya manusia itu?”. Pandangan filsafat mengenai manusia akan mewarnai pendapat seseorang mengenai bagian yang dianggap hakiki dari kepribadian dan pada akhirnya menentukan pengertian tentang kepribadian.

Hal ini menyebabkan pesatnya penilaian kepribadian melalui tes-tes proyeksi, yaitu kenyataan atau ekspresi kepribadian seseorang dipancing melalui gambar-gambar, baik disuruh menggambar atau disuruh menafsirkan gambar-gambar maupun melalui ekspresi tulisna dan karangan. Riwayat hidup seseorang dianalisis secara mendalam sejak lahir, bahkan sebelum lahir untuk mendapatkan ciri kepribadiannya. Klien atau orang berkonsultasi psikologi disuruh berbaring santai sambil menggunakan segala sesuatu yang terlintas dalam pikirannya. Kalau perlu diberi rangsangan dengan kata-kata tertentu. Ucapak klien dianalisis secara mendalam untuk memahami dinamika kepribadiannya.

Kepribadian adalah sesuatu yang berdiri sendiri, tetapi juga sesuatu yang terbuka terhadap dunia sekitarnya. Pandangan filsafat Asia mengenai kepribadian, terkesan lebih mendekati pandangan G.W. Leibniz. Agama Islam mengenal istilah fitrah sebagai potensi dasar kejiwaan manusia yang mempunyai arti hampir sama dengan konsep monade dari G.W.Leibniz. Apakah Leibniz dipengaruhi oleh pandangan Islam? Mungkin saja, karena pengaruh Islam pada abad pertengahan cukup besar di kalangan intelektual Barat. Aktualisasi, realisasi dan perkembangan fitrah itu diwarnai oleh pengaruh ornag tua, pendidikan, masyarakat serta situasi dan kondisi lingkungan. Fitrah manusia selain berkembang dengan sendirinya juga dipengaruhi oleh nilai-nilai dri lingkungannya, sehingga menjadi tidak bersih. Dengan melaksanakan ajaran Islam, fitrah yang telah dikotori oleh lingkungan dapat menjadi suci kembali.

Pandangan Asia ini lebih menekankan segi etika dan rohaniah, sedangkan segi fisik kurang mendapat perhatian. Dalam kepribadian selalu termuat pula elemen etis dan moral, yakni suatu perasaan keharusan pada manusia untuk berlaku susila. Hal ini tidak terlepas dari pandangan hidup yang terdapat di Asia, bahwa manusia merupakan sebagian dari kosmos atau makhluk Tuhan, yang pada hakikatnya Tuhanlah yang akan menentukan sikap dan nasib manusia.

2. DEFINISI KEPRIBADIAN

Pada dasarnya istilah kepribadian digunakan untuk pengertian yang ditujukan pada individu atau perorangan. Artinya, yang mempunyai kepribadian adalah individu. Kemudian istilah kepribadian digunakan pula untuk kelompok individu atau masyarakat, selain dikenal adanya kepribadian si Fulan, juga dikenal dengan adanya kepribadian Minangkabau, kepribadian Jawa, kepribadian pegawai negeri, kepribadian Indoneis, dan sebagainya.

Kepribadian Indonesia disamakan pengertiannya dengan manusia Indonesia, ukuran satuan atau unitnya dalam pengertian sifat, ciri, karakter, watak, jiwa, moral, semangat, kebiasaan, tingkah laku, dan lain-lain.

Gordon W. Allport (1937) memberikan definisi kepribadian sebagai berikut :
Personality is the dynamic organization within the individual of those psychophysical system that determine his unique adjustment to his environment.
“Kepribadian ialah organisasi sistem jiwa raga yang dinamis dalam diri individu yang menentukan penyesuaian dirinya yang unik terhadap lingkungannya”.

Kalau definisi tersebut dianalisis, maka kepribadian adalah:
a. Merupakan suatu organisasi dinamis, yaitu suatu kebulatan keutuhan, organisasi atau sistem yang mengikat dan mengaitkan berbagai macam aspek atau komponen kepribadian. Organisasi tersebut dalam keadaan berproses, selalu mengalami perubahan dan perkembangan.

b. Organisasi itu terdiri atas sistem-sistem psychiphysical atau jiwa raga. Term ini menunjukkan bahwa kepribadian itu tidak hanya terdiri atas mental, rohani, jiwa atau hanya jasmani saja tetapi organisasi itu mencakup semua kegiatan badan dan mental yang menyatu kedalam kesatuan pribadi yang berbeda dalam individu.

c. Organisasi itu menentukan penyesuaian dirinya, artinya menunjukkan bahwa kepribadian dibentuk oleh kecenderungan yang berperan secara aktif dalam menentukan tingkah laku individu yang berhubungan dengan dirinya sendiri dan lingkungan masyarakat. Kepribadian adalah sesuatu yang terletak di belakang perbuatan khas yang berbeda dalam individu.

d. Penyesuaian diri dalam hubungan dengan lingkungan itu bersifat unik, khas, atau khusus, yakni mempunyai ciri-ciri tersendiri dan tidak ada yang menyamainya. Tiap penyesuaian kepribadian tidak ada dua yang sama dan karena itu berbeda dengan penyesuaian kepribadian yang lain, walaupun seandainya dua kepribadian anak kembar berasal dari satu telur. Tiap-tiap penyesuaian terarah pada diri sendiri, lingkungan masyarakat, ataupun kebudayaan.

Dari definisi diatas diperoleh pengertian sebagai berikut:
a. Bahwa kepribadian adalah organisasi yang dinamis, artinya suatu organisasi yang terdiri dari sejumlah aspek/unsur yang terus tumbuh dan berkembang sepanjang hidup manusia.
b. Aspek-aspek tersebut adalah mengenai psiko-fisik (rohani dan jasmani) antara lain sifat-sifat, kebiasaan, sikap, tingkah laku, bentuk-bentuk tubuh, ukuran, warna kulit dan sebagainya. Semuanya tumbuh dan berkembang sesuai dengan kondisi yang dimiliki seseorang.
c. Semua Aspek kepribadian, baik sifat-sifat maupun kebiasaan, sikap, tingkah laku, bentuk tubuh, dan sebagainya, merupakan suatu sistem (totalitas) dalam menentukan cara yang khas dalam mengadakan penyesuaian diri terhadap lingkungan. Ini mengandung arti bahwa setiap orang memiliki cara yang khas atau penampilan yang berbeda dalanm bertindak atau bereaksi terhadap lingkungannya.

TIPE-TIPE KEPRIBADIAN

Berdasarkan persamaan aspek kepribadian pada sejumlah orang tertentu, maka para ahli mengadakan pembagian/penggolongan kepribadian manusia bermacam-macam tipe. Beberapa macam pembagiannya ialah:

a. Menurut Galenus
Galenus seorang dokter bangsa Romawi (129 – 199 M) membagi temperamen manusia menjadi 4 tipe berdasarkan jenis cairan yang paling berpengaruh pada tubuh manusia.
Pembagian tersebut adalah:

1) Cholericus : Empedu kuning (chole) yang paling berpengaruh. Orang ini besar dan kuat tubuhnya, penarik darah, sukar mengendalikan diri.

2) Sanguinicus: darah (sanguis) yang lebih besar pengaruhnya. Orang ini wajahnya selalu berseri-seri, periang, dan berjiwa kekanak-kanakan

3) Flegmeticus: lendis (flegma) yang paling berpengaruh. Orang ini pembawaannya tenang, pemalas, pesimis, dan wajahnya selalu pucat

4) Melancholicus: empedu hitam (melanchole) yang lebih berpengaruh. Orang-orang dengan tipe ini selalu bersikap murung dan mudah menaruh syak (curiga).

b. Menurut Heymans
Heymans memperoleh 7 macam tipe manusia yaitu:
1) Gapasioneerden (orang hebat): orang yang aktif dan emosional serta fungsi sekundernya kuat.

2) Cholerici (orang garang): orang aktif dan emosional tetapi fungsi sekundernya lemah

3) Sentimentil (orang perayu): orang yang tidak aktif, emosional dan fungsi sekundernya kuat.

4) Nerveuzen (orang penggugup): orang yang tidak aktif dan fungsi sekundernya lemah tetapi emosinya kuat.

5) Flegmaciti (orang tenang): orang yang tak aktif dan fungsi sekundernya kuat.

6) Sanguinici (orang kekanak-kanakan): orang yang tidak aktif, tidak emosional, tetapi fungsi sekundernya kuat.

7) Amorfrn (orang tak berbentuk): orang-orang yang tidak aktif, tidak emosional dan fungsi sekundernya lemah.

c. Menurut Spranger
Berdasarkan kuat lemahnya nilai-nilai dalam diri seseorang, R. Spranger membagi watak/kepribadian manusia menjadi 6 tipe, yaitu:
1) Manusia teori
Orang-orang ini berpendapat ilmu pengetahuan paling penting, berada di atas segala-galanya.

2) Manusia Ekonomi
Nilai yang paling penting bagi orang ini ialah uang (ekonomi)

3) Manusia sosial
Bagi orang ini, nilai-nilai sosial paling mempengaruhi jiwanya.

4) Manusia politik
Nilai yang terpenting bagi orang ini ialah politik

5) Manusia seni
Jiwa orang ini selalu dipengaruhi oleh nilai-nilai kesenian

6) Manusia saleh
Orang ini pecinta nilai-nilai agama

MENGUKUR KEPRIBADIAN
Cara mengukur.menyelidiki kepribadian ada bermacam-macam antara lain:
1) Observasi
Menilai kepribadian dengan observasi yaitu dengan cara mengamati/memperhatikan langsung tingkah laku serta kegiatan yang dilakukan oleh yang bersangkutan terutama sikapnya, caranya, bicara, kerja dan juga hasilnya.

2) Wawancara (interview)
Menilai kepribadian dengan wawancara, berarti mengadakan tatap muka dan berbicara dari hati-hati dengan orang yang dinilai.

3) Inventory
Inventory adalah sejenis kuesiner (pertanyaan tertulis) yang harus dijawab oleh responden secara ringkas, biasanya mengisi kolom jawaban dengan tanda cek.

4) Teknik Proyektif
Cara lain mengukur/menilai kepribadian dengan menggunakan teknik proyektif. Si anak/orang yang dinilai akan memproyeksikan pribadinya melalui gambar atau hal-hal lain yang dilakukannya.

5) Biografi dan Autobiografi
Riwayat hidup yang ditulis orang lain (biografi) dan ditulis sendiri (autobiografi) dapat juga digunakan untuk menilai kepribadian

6) Catatan Harian
Catatan harian seseorang berisikan kegiatan-kegiatan yang dilakukan sehari-hari, dapat juga dianalisis dan dijadikan bahan penelitian kepribadian seseorang.

3. ASPEK-ASPEK KEPRIBADIAN
Tingkah laku manusia dianalisis ke dalam tiga spek atau fungsi yaitu:
a) Aspek kognitif (pengenalan) yaitu pemikiran, ingatan hayalan, daya bayang, inisiatif, kreativitas, pengamatan dan penginderaan. Fungsi aspek kognitif adalah menunjukkan jalan, mengarahkan dan mengendalikan tingkah laku.

b) Aspek afektif yaitu bagian kejiwaan yang berhubungan dengan kehidupan alam perasaan atau emosi, sedangkan hasrat, kehendak, kemauan, keinginan, kebutuhan, dorongan, dan elemen motivasi lainnya disebut aspek konatif atau psi-motorik (kecenderungan atau niat tidak) yang tidak dapat dipisahkan dengan aspek afektif.
c) Aspek motorik yaitu berfungsi sebagai pelaksana tingkah laku manusia seperti perbuatan dan gerakan jasmaniah lainnya.

DEFINISI KEPRIBADIAN DARI PSIKOLOGI EKSISTENSI

a.Definisi Psikologi Eksistensial
Eksistensial adalah sebuah aliran yang menolak untuk memandang manusia sebagai hasil dari reduksi berdasar pandangan ilmu pengetahuan alam, yaitu semua perilaku didasarkan pada hukum causa prima. Eksistensialis menilai bahwa manusia tidak dapat dijelaskan dengan kompleksitas sistem-sistem rasional. Psikologi eksistensial tidak mengkonsepsikan tingkah laku sebagai akibat dari perangsang dari luar dan kondisi-kondisi badaniah dalam manusia. Konsep eksistensial perkembangan yang paling penting adalah konsep tentang menjadi. Eksistensi tidak pernah statis, tetapi selalu berada dalam proses menjadi sesuatu yang baru, mengatasi diri sendiri. Tujuannya adalah untuk menjadi manusia sepenuhnya, yakni memenuhi semua kemungkinan dalam kehidupannya.

b.Kepribadian Secara Eksistensial
Kepribadian adalah cara manusia menuju individu yang Menjadi, individu yang bisa menentukan siapa, menjadi apa, dan bagaimana menjadi dirinya yang mampu mempergunakan potensinya dengan maksimal.

PRINSIP DASAR
1.Eksistensi manusia adalah suatu proses yang dinamis, suatu “menjadi” atau “mengada”. Hal ini sesuai dengan asal kata eksistensi itu sendiri yakni existence yang artinya “ke luar dari” atau “ mengatasi” dirinya sendiri. Jadi eksistensi bersifat lentur dan mengalami perkembangan atau sebaliknya kemunduran tergantung pad individu dalam mengaktualisasi poensinya.

2.Eksistensi adalah pemberian makna. Hal ini sesuai dengan hakekat kesadaran manusia itu sendiri sebagai intensionalitas, yang selalu mengarah keluar dirinya dan melampaui dirinya (Transendensi).

3.Eksistensi adalah ada-dalam-dunia (in-der-welt-sein). Manusia tidak hidup sendiri dan berada dalam diri sendiri, melainkan berada dalam dunianya. Ada-dalam-dunia adalah struktur dasar mengadanya manusia. Kata sambung disini menunjukkan bahwa mengadanya manusia tidak bisa terlepas dan tidak dapat terrealisasi tanpa dunianya.

Tidak mungkin manusia dilepaskan dari dunianya dan sebaliknya tidak mungkin dunia dilepaskan dari manusia yang mengkonstitusikannya (menciptakan atau memaknainya). Dunia yang dimaksud bukan hanya sebagai lingkungan fisik namun juga dunia pribadi individu tersebut.

4.Manusia hidup dalam Mitwelt, Eigenwelt, dan Umwelt. Beda antara manusia dengan hewan terletak pada kompleksitas manusia, yang hidup bukan hanya dalam Umwelt (dunia fisik) tapi juga dalam Mitwelt (lingkungan manusia) dan Umwelt (lingkungan diri manusia itu sendiri).

Umweit (dunia biologis, “lingkungan”)
Dunia objek disekitar kita, dunia natural. Yang termasuk dalam umwelt diantaranya kebutuhan-kebutuhan biologis, dorongan-dorongan, naluri-naluri, yakni dunia yang akan terus ada, tempat dimana kita harus menyesuaikan diri. Akan tetapi umwelt tidak diartikan sebagai “dorongan-dorongan” semata melainkan dihubungkan dengan kesadaran-diri manusia.

Mitweit (“dunia bersama”)
Dunia perhubungan antar manusia dengan manusia yang lain. Didalamnya terdapat perhubungan antar berupa interaksi manusiawi yang mengandung makna. Dalam perhubungan tersebut terdapat perasaan-perasaan seperti cinta dan benci yang tidak pernah bisa dipahami hanya sebagai sesuatu yang bersifat biologis semata.
Eigenwelt (“dunia milik sendiri”)

Adalah kesadaran diri, perhubungan diri dan secara khas hadir dalam diri manusia. Eigenwelt adalah kesadaran-diri, perhubungan diri, dan secara khas hadir alam diri manusia. Selain itu eigenwelt adalah pusat dari perspektif diri dan pusat dari perhubungan diri dengan benda atau orang lain. Tanpa ini kita manusia akan kehilangan kesadaran-dirinya bahwa ”aku-ada” dan keberadaanku itu tidak bisa disangkal. Tanpa kesadaran itu manusia akan kehilangan orientasi dan dengan demikian kehilangan eksistensinya.

5.Eksistensi adalah ”milik pribadi”. Tidak ada dua individu yang identik. Tidak ada pula dua pengalaman yang identik. Oleh sebab itu eksistensi adalah milik pribadi yang keberadaannya tidak tergantikan oleh siapa pun.

6.Eksistensi mendahului esensi. Kalimat terkenal ini dinyatakan oleh Sartre. Kalimat ini bermakna bahwa nasib dan takdir manusia, struktur hidup manusia, dan juga konsepsi tentang manusia, adalah dipilih dan ditentukan sendiri oleh manusia. Bahwa eksistensi manusia merupakan produk dari kebebasan manusia itu.

7.Eksistensi adalah tentang ke-otentik-an. Menurut Heiddeger (1962) dan Sartre (1966), eksistensi sebagian besar manusia adalah tidak otentik karena dikuasai oleh kekuatan massa atau oleh pesona benda dan mengabaikan hati nurani. Kebalikannya, eksistensi yang otentik adalah eksistensi yang setiap perilakunya berasal dari hati nurani dan pilihan bebasnya sendiri.

Teori perkembangan kognitif

Teori Perkembangan Kognitif, dikembangkan oleh Jean Piaget, seorang psikolog Swiss yang hidup tahun 1896-1980. Teorinya memberikan banyak konsep utama dalam lapangan psikologi perkembangan dan berpengaruh terhadap perkembangan konsep kecerdasan, yang bagi Piaget, berarti kemampuan untuk secara lebih tepat merepresentasikan dunia dan melakukan operasi logis dalam representasi konsep yang berdasar pada kenyataan.

Teori ini membahas munculnya dan diperolehnya schemata—skema tentang bagaimana seseorang mempersepsi lingkungannya— dalam tahapan-tahapan perkembangan, saat seseorang memperoleh cara baru dalam merepresentasikan informasi secara mental.

Teori ini digolongkan ke dalam konstruktivisme, yang berarti, tidak seperti teori nativisme (yang menggambarkan perkembangan kognitif sebagai pemunculan pengetahuan dan kemampuan bawaan), teori ini berpendapat bahwa kita membangun kemampuan kognitif kita melalui tindakan yang termotivasi dengan sendirinya terhadap lingkungan. Untuk pengembangan teori ini, Piaget memperoleh Erasmus Prize. Piaget membagi skema yang digunakan anak untuk memahami dunianya melalui empat periode utama yang berkorelasi dengan dan semakin canggih seiring pertambahan usia:
• Periode sensorimotor (usia 0–2 tahun)
• Periode praoperasional (usia 2–7 tahun)
• Periode operasional konkrit (usia 7–11 tahun)
• Periode operasional formal (usia 11 tahun sampai dewasa)

Periode sensorimotor
Menurut Piaget, bayi lahir dengan sejumlah refleks bawaan selain juga dorongan untuk mengeksplorasi dunianya. Skema awalnya dibentuk melalui diferensiasi refleks bawaan tersebut. Periode sensorimotor adalah periode pertama dari empat periode. Piaget berpendapat bahwa tahapan ini menandai perkembangan kemampuan dan pemahaman spatial penting dalam enam sub-tahapan:
1. Sub-tahapan skema refleks, muncul saat lahir sampai usia enam minggu dan berhubungan terutama dengan refleks.

2. Sub-tahapan fase reaksi sirkular primer, dari usia enam minggu sampai empat bulan dan berhubungan terutama dengan munculnya kebiasaan-kebiasaan.

3. Sub-tahapan fase reaksi sirkular sekunder, muncul antara usia empat sampai sembilan bulan dan berhubungan terutama dengan koordinasi antara penglihatan dan pemaknaan.

4. Sub-tahapan koordinasi reaksi sirkular sekunder, muncul dari usia sembilan sampai duabelas bulan, saat berkembangnya kemampuan untuk melihat objek sebagai sesuatu yang permanen walau kelihatannya berbeda kalau dilihat dari sudut berbeda (permanensi objek).

5. Sub-tahapan fase reaksi sirkular tersier, muncul dalam usia dua belas sampai delapan belas bulan dan berhubungan terutama dengan penemuan cara-cara baru untuk mencapai tujuan.

6. Sub-tahapan awal representasi simbolik, berhubungan terutama dengan tahapan awal kreativitas.

Tahapan praoperasional
Tahapan ini merupakan tahapan kedua dari empat tahapan. Dengan mengamati urutan permainan, Piaget bisa menunjukkan bahwa setelah akhir usia dua tahun jenis yang secara kualitatif baru dari fungsi psikologis muncul. Pemikiran (Pra)Operasi dalam teori Piaget adalah prosedur melakukan tindakan secara mental terhadap objek-objek.

Ciri dari tahapan ini adalah operasi mental yang jarang dan secara logika tidak memadai. Dalam tahapan ini, anak belajar menggunakan dan merepresentasikan objek dengan gambaran dan kata-kata. Pemikirannya masih bersifat egosentris: anak kesulitan untuk melihat dari sudut pandang orang lain. Anak dapat mengklasifikasikan objek menggunakan satu ciri, seperti mengumpulkan semua benda merah walau bentuknya berbeda-beda atau mengumpulkan semua benda bulat walau warnanya berbeda-beda.

Menurut Piaget, tahapan pra-operasional mengikuti tahapan sensorimotor dan muncul antara usia dua sampai enam tahun. Dalam tahapan ini, anak mengembangkan keterampilan berbahasanya. Mereka mulai merepresentasikan benda-benda dengan kata-kata dan gambar. Bagaimanapun, mereka masih menggunakan penalaran intuitif bukan logis. Di permulaan tahapan ini, mereka cenderung egosentris, yaitu, mereka tidak dapat memahami tempatnya di dunia dan bagaimana hal tersebut berhubungan satu sama lain. Mereka kesulitan memahami bagaimana perasaan dari orang di sekitarnya. Tetapi seiring pendewasaan, kemampuan untuk memahami perspektif orang lain semakin baik. Anak memiliki pikiran yang sangat imajinatif di saat ini dan menganggap setiap benda yang tidak hidup pun memiliki perasaan.

Tahapan operasional konkrit
Tahapan ini adalah tahapan ketiga dari empat tahapan. Muncul antara usia enam sampai duabelas tahun dan mempunyai ciri berupa penggunaan logika yang memadai. Proses-proses penting selama tahapan ini adalah:
Pengurutan—kemampuan untuk mengurutan objek menurut ukuran, bentuk, atau ciri lainnya. Contohnya, bila diberi benda berbeda ukuran, mereka dapat mengurutkannya dari benda yang paling besar ke yang paling kecil.

Klasifikasi—kemampuan untuk memberi nama dan mengidentifikasi serangkaian benda menurut tampilannya, ukurannya, atau karakteristik lain, termasuk gagasan bahwa serangkaian benda-benda dapat menyertakan benda lainnya ke dalam rangkaian tersebut. Anak tidak lagi memiliki keterbatasan logika berupa animisme (anggapan bahwa semua benda hidup dan berperasaan)

read more “Psikologi”