PENDEKATAN SOSIOLOGI DALAM KAJIAN ISLAM "Feminisme"

PENDEKATAN SOSIOLOGI DALAM KAJIAN ISLAM
Perspektif Teori Feminisme

Dalam sejarah kebudayaan manapun, keberadaan wanita dalam berbagai aktivitas dan kontribusinya bagi peradaban selalu mendapatkan tempat sebagai agenda pembicaraan yang aktual dari zaman ke zaman. Hingga kini. Wanita pernah dimuliakan, disanjung dan didewa-dewakan, tetapi disatu sisi sekaligus juga dihinakan dan direndahkan martabatnya dan tidak mempunyai hak yang dapat dijamin oleh hukum. Bahkan dalam tingkat sosial, wanita menempati urutan paling bawah. Pengkultusan, penindasan serta dehumanisasi ini berlaku baik karena keprimitifan budaya manusia maupun akibat modernisasi.

Modernisasi yang dimulai dari Revolusi industri di Perancis (1700-1800), telah menumbuhkan sistem kapitalisme, sistem demokrasi liberal serta akselerasi ilmu dan teknologi yang pesat (Kayam, 1986: 2-3). Sistem demokrasi liberal yang sangat mengagungkan persamaan hak hak asasi, membawa konsekuensi logis terhadap kaum wanita. Kaum wanita yang pada mulanya dianggap bebas peran dan terabaikan, menuntut haknya untuk mendapatkan peran yang ditentukan sendiri untuk mengaktualisasikan potensi dan kemampuannya (A. Hadar, 1989: 33). Perjuangan perlawanan perempuan terhadap beragam bentuk diskriminasi sosial, personal atau ekonomi, dimana perempuan sebagai pihak yang menderita karena jenis kelaminnya.
Inilah yang dideskripsikan oleh David Bouchier sebagai Feminisme (Connoly, 2002: 64).

Berbicara tentang feminisme tentunya kita akan melihat dari dua sudut pandang. Feminisme sebagai sebuah teori dan feminisme sebagai sebuah gerakan. Pada umumnya, kita mengambil teori feminis dimana teori ini kerap mengabaikan posisi kontemporer wanita, dengan memusatkan pada masa masa lalu yang bersifat historis atau masa masa depan yang bersifat utopis. Fokus pada praxis seringkali mengenai penciptaan revolusi, reformasi egalitarian atau utopia utopia kultural . Kalaupun teori sosiologi sebagian besar disasarkan pada apa yang dikenal sebagai hubungan individu dengan dunia sebagaimana adanya dan yang dipertahankan. Teori feminis merupakan suatu teori pembebas (emancipatory theory), yang memfokuskan hubungan individu atau kelompok dengan dunia sebagaimana yang disusun. Kebanyakan teori feminis, kemudian menekankan suatu filsafat sosial tentang wanita sebagai lawan dari sosiologi wanita.

Menurut Janet Chafetz (1988), berikut ini adalah unsur teori sosiologis feminis
1. Jenis kelamin merupakan suatu fokus sentral atau pokok didalam teori.
2. Hubungan hubungan jenis kelamin tidak dipandang sebagai suatu masalah.
3. Hubungan hubungan jenis kelamin tidak dipandang sebagai alamiah atau kekal.
4. Batu ujiannya yaitu apakah teori sosiologi feminis bisa dipergunakan untuk menentang, meniadakan atau mengubah suatu status Quo yang merugikan atau menurunkan derajat wanita.

Chafetz dengan sengaja menghilangkan aktifisme sebagai suatu komponen sentral yang membentuk teori feminis. Teori sosiologi jika sebelumnya yang juga feminis, menuntut bahwa teori harus melibatkan praxis (Millan dan Kanter, 1975 dan Cook dan Fonow, 1986). Sosiologi feminis juga terlibat didalam perubahan masyarakat melalui proses pembuatan sosiologi. Chafetz menolak definisi aktifis mengenai sosiologi yang dapat dipergunakan untuk tujuan aktifis, tetapi menurut definisi bukanlah aktifis “hal ini merupakan suatu penilaian terhadap teori itu sendiri, bukan terhadap sarjana yang menciptakan” (Chafetz, 1988.5).

Secara historis arus feminisme telah tumbuh didalam masyarakat liberalis dan kapitalis dalam bentuk “gerakan emansipasi wanita”. Pada abad ke-19 dipandang sebagai hasil dari perlakuan tidak seimbang terhadap wanita dalam revolusi industri dan sesudahnya, serta mengesampingkan peranan sosial politik wanita. Walaupun sudah pernah ada buku-buku kecil melontarkan bermacam-macam masalah wanita dan menuntut adanya perubahan sejak abad ke-17, sesungguhnya abad ke-19 dapat dikatakan sebagai awal munculnya, meski dalam bentuk terbatas yang didukung oleh gerakan sosial yang kuat (Izzat, 1997: 43)

Feminisme bukan fenomena tunggal, sebaliknya dalam sejarah feminisme muncul dalam berbagai latar belakang warna. Ada feminisme liberal, feminisme radikal, feminisme marxian dan sebagainya (Ollenburger dan Moore, 196: 21-30). Feminisme liberal adalah bentuk gerakan yang menuntut kebebasan kaum wanita untuk bebas menentukan nasib dan jati dirinya sendiri. Sedangkan feminisme radikal
mengumumkan perang terhadap tradisi patriaki, sebuah tradisi yang selalu menempatkan laki-laki dalam posisi yang lebih beruntung dihadapan wanita.

Sementara itu feminisme Marxian menyatakan bahwa wanita ditekan karena adanya struktur ekonomi, setelah penindasan ekonomi dipecahkan maka penindasan patriarki dapat dihapuskan. Ditengah-tengah gelombang pencarian nilai-nilai kewanitaan itulah, akhirnya muncul gelombang baru yang disebut dengan “pacificst feminist”, yaitu gerakan yang menganjurkan agar masyarakat kembali mencari nilai-nilai yang bersumber dari ajaran agama (MPA, 1995:9)

Jika kita ingin melakukan pendekatan feminis dalam studi agama, sebagaimana disinyalir oleh Sue Morgan dalam buku Agama Empiris (2000:79), bahwa pendekatan feminis dalam studi agama tidak lain merupakan suatu transformasi kritis dalam perspektif teoritis yang ada dengan menggunakan gender sebagai kategori analisis utamanya.

Istilah transformasi kritis disini adalah dimana dimensi kritis menentang pelanggengan historis terhadap ketidakadilan dalam agama, prktek-praktek esklusioner yang melegitimasi superioritas laki-laki dalam setiap bidang sosial. Aspek transformatif kemudian meletakkan kembali simbol-simbol sentral, teks dan ritual-ritual tradisi keagamaan secara lebih tepat untuk memasukkan dan mengokohkan pengalaman perempuan yang diabaikan. Sedangkan gender yang dimaksud disini, sebagimana yang dibuat oleh feminis adalah persepsi dan harapan-harapan kultural tentang apa yang seharusnya bagi laki-laki dan perempuan. Masih menurut Sue Morgan dalam perspektif feminis, gender ini dibedakan dengan seks, karena seks mengacu kepada sifat yang terberi secara biologis. Dan “patriarki” sebagai objek kritis feminis didefinisikan sebagai sistem kekuatan dominasi laki-laki terhadap perempuan yang terinstitusionalkan (dengan berlebihan), subyek laki-laki dan alam sebagai kesatuan (Connoly, 2002: 65)

Feminis-feminis religius, seperti yang diteliti Anne Carr (1988:95) disatukan oleh satu keyakinan bahwa feminisme dalam agama keduanya sangat signifikan bagi kehidupan perempuan dan kehidupan kontemporer pada umumnya. Sebagaimana agama, feminisme memberi perhatian pada makna identitas dan totalitas manusia pada tingkat yang paling dalam, didasarkan pada banyak pandangan interdipliner baik dari antropologi, teologi, sosiologi dan filsafat. Tujuan utama dari tugas feminis adalah mengidentifikasi sejauh mana terdapat persesuaian amtara pandangan feminis dan pandangan keagamaan terhadap kedirian dan bagaimana menjalin interaksi yang paling menguntungkan antara yang satu dengan yang lain.

Latar Belakang Munculnya Teori Feminis

Jika bicara Studi feminis terhadap agama, studi ini memiliki asal-usul panjang dan menarik. Dimulai dari feminisme religius Anglo-American yang terorganisir muncul pada abad- 19, dimana memiliki dua isu utama, yaitu perdebatan tentang persamaan akses terhadap ministry (jabatan pendeta) dan kritisisme injil (Connoly, 2002:65)

Perdebatan itu mulai muncul karena adanya sikap ambivalen dari pendeta laki-laki, dimana keterlibatan perempuan abad-19 dalam beragam aktifitas gereja sebagai biarawati, misionaris, pengumpul dana dan dermawan. Satu sisi mendapat respon terima kasih dari pendeta tersebut, tetapi disisi lain para pendeta itu menguatkan statemen bahwa kehidupan rumah dan keluarga lebih utama dibanding aktifitas mereka. Respon mendua dari pendeta laki-laki itulah yang dikritik oleh para feminis religius Amerika dan Inggris yang pada umumnya telah mengalami kemajuan berfikir karena dorongan gerakan perempuan sekuler, sehingga menyebabkan meningkatnya kesempatan dalam pendidikan dan pekerjaan bagi para perempuan (Coonoly, 2002:66)

Perdebatan itu kemudian meningkat pada peran perempuan dalam kependetaan. Para feminis menggugat mengapa pendeta perempuan dilarang berkhutbah (sebagaimana catatan jarena lee dalam biografi spiritualnya, ketika Lee ditolak untuk berkhutbah di gereja Epi Kostal Methodist Afrika oleh Richard Allen). Bagi feminis kristen, mandat ketuhanan secara jelas dibedakan dari interpretasi laki-laki yang dapat keliru, sebagaimana mereka menegaskan dispensasi kharismatik untuk jabatan khutbah (Preaching office). Prinsip injil tentang egalitarianisme spiritual dan watak universal kebangkitan Yesus.

Contoh tuntutan perempuan terhadap otonomi spiritual semakin tampak jelas, ketika kepemimpinan yang mereka kehendaki tidak muncul, sebagian mereka terus berdakwah, tanpa persetujuan umat. Pada periode ini sebagai catatan seperti yang dilakukan oleh jarena lee dan Amanda Bery Smith, jalan alternatif dipilih oleh mereka untuk memperbesar klaim mereka terhadap ekspresi diri spiritual. Dan pola semacam ini diikuti oleh perempuan-perempuan lainnya, mereka mengangkat diri mereka sebagai pemimpin gerakan keagamaan baru dan hal ini dikuatkan oleh gelombang revivalis pada abad setelahnya. Bahkan prinsip kesamaan spiritual dan sosial secara penuh bagi perempuan banyak digambarkan dalam pembelaan yang luar biasa dari sekte-sekte yang dibangun perempuan, seperti shakers yang didirikan Ann-Lee atau gerakan sains kristen. Mary Baker Edy, mereka melakukan pembelaan atas Imagery perempuan dalam pewahyuan (Connoly, 2002;67).

Agama merupakan faktor yang kuat dalam membentuk dan mengarahkan feminisme Amerika. Ini disebabkan oleh kuatnya hubungan ideologis antara gerakan perempuan dan kampanye anti perbudakan atau penghapusan perbudakan. Sebagaimana di negara-negara lainnya, di Amerika sampai pertengahan abad ke-19 masih terdapat perbudakan terhadap wanita. Untuk mencegah pemberontakan para budak tersebut, para majikan yang dipertuan tidak mau memberikan pendidikan (baca/tulis) kepada para budaknya (K. Kerber dan Marthew, 1982:99).

Keadaan itulah yang mendorong semangat Evangelis untuk melakukan reformasi. Feminis Evangelis mendasarkan seruannya pada perluasan peran, kewarganegaraan perempuan yang mendasarkan pada definisi tradisional feminis, memuji bakat perempuan terhadap pengasuhan dan kecenderungannya untuk menafikan dirinya demi kepentingan orang lain sebagai kualitas moral yang patut dicontoh. Feminisme liberal disisi lain, menentang ideal-ideal injil tentang sub-ordinasi dan domestifikasi perempuan, menuntut kesetaraan politik dan sosial sekalipun dengan perbedaan seks dengan hak yang diberikan Tuhan (Connoly, 2002:68-69).

Aliansi intrinsik antara keagamaan perempuan dan kualitas politis digulirkan dalam dominasi numerical perempuan Quaker (anggota perkumpulan kristen yang anti perang dan anti sumpah) di Seneca yang menghasilkan konvensi 1848 dan resolusi final deklarasi hak-hak perempuan.

Pada abad ke-19 itu, kritik paling tajam terhadap agama (kristen) dikemukakan oleh teoritisi feminis liberal Amerika; Elizabeth Cady Stanton dan Matilda Joslyn Gage, menurut Gage sejarah kristiani semata-mata dibangun berdasarkan pada ketidaksetaraan jenis kelamin dan pelemahan terhadap perempuan (Morgan, 2002:83). Dan seperti Gage, Elizabeth Cady Stanton menganggap dasar-dasar keinjilan dalam agama institusional sebagai penyebab utama inferioritas perempuan. Dan untuk membuat interpretasi yang lebih liberal terhadap injil, Stanton dan suatu tim 30 penerjemah termasuk Matilda Gage mengumpulkan komentar kritis terhadap seluruh bagian injil yang terkait dengan perempuan. Tawaran kalangan dalam The Women’s Bible yang dipublikasikan tahun 1985 dan 1898 itu bukan bentuk penolakan terhadap Injil, tetapi membongkar watak Endosentrisme atau keterpusatan kepada laki-laki dari tafsir skriptual yang ada (Morgan, 2002:84).

Sebagaimana feminisme religius abaf ke-19 yang mengambarkan analisanya yang disemangati oleh mainstream gerakan perempuan pada periode 1960-an dan 1970-an, kita menyaksikan gelombang kedua dimana sarjana-sarjana agama perempuan kontemporer menerima ideologi baru dari berbagai isu yang dimunculkan dalam bentuk yang lebih ilmiah dan pemecahan masalahnya dari kajian-kajian akademis. Periode ini disebut oleh sebagian orang sebgai formalisasi wanita dalam dunia ilmu pengetahuan (Izzat, 1997:43).

Seperti pendekatan teoritis para pendahulunya, proyek kritis feminisme kontemporer dimulai dengan pembahasan yang komprehensif terhadap misoginitas agama barat. Dalam anthologi Womans and religion, disitu dibuka kedok penyebaran inferioritas perempuan dalam setiap periode sejarah Yahudi dan Kristen Pengaruh ajaran Yahudi dan kristiani menganggap wanita sebagai pembawa dosa asal, manusia tanpa kepala, penjelmaan setan, semua terekspresikan dalam realitas kehidupan masyarakat yang dipelopori para pendeta dan rahib-rahib (El-Sadawi, 1980:95-96). Hal ini oleh Rosemary Radford Reuther dipandang merupakan kesalahan teologis dan dualisme Antropologis (dan hal ini disebut sebagai salah satu teori eksplanatoris).

Dari perintah Bibel terhadap pembungkaman perempuan, hingga tulisan-tulisan klasik seperti pada abad ke-13 seperti Saint Thomas Aquinas dan Alberto Magnus (ahli fikir dan teolog terkemuka saat itu) mengajukan satu pikiran bahwa wanita mempunyai kecakapan dalam berhubungan seksual dengan setan (El-Sadawi, 1980:95-96). Semua tema-tema ini adalah tema sentral yang mendominasi sehingga hubungan yang berbahaya antara agama dan jenis kelamin bukanlah hal yang peripheral dan kebetulan.

Menurut Sue Morgan (2002:86), menjelang tahun 1970 penyingkapan rahasia patriarki kagamaan telah menimbulkan berbagai strategi yang berhubungan dengan kemungkinan persesuaian feminisme dan agama. Dalam teori feminis pada umumnya terjadi ketegangan yang berlangsung dalam teologi feminis didasarkan pada sikap yang berbeda-beda terhadap pengalaman perempuan, signifikansi sejarah masa lampau dan inti simbol-simbol keagamaan. Ketegangan itu menggambarkan perbedaan klasik antara “kesetaraan ataukah pembedaan”. Feminis reformis yang dalam mengkontruksi turut menerima tradisi keagamaan, cenderung memfokuskan pada kesetaraan laki-laki dan perempuan dalam kerangka kerja pembebasan perempuan yang lebih luas. Feminis radikal menekankan pembedaan esensial antara jenis kelamin, menyerukan pada penemuan kembali prinsip feminim sebagai akhir dominasi patriarkal.

Mengenai kemunculan teologi feminim sering ditetapkan sejak munculnya artikel yang ditulis Saiving pada tahun 1960. Saiving menuntut reformulasi definisi teologis tradisional tentang dosa dan kritiknya terhadap teologi laki-laki klasik. Esei Saiving dengan cakap menunjukkan cara bagaimana norma maskulinitas dan humanitas seiring diruntuhkan dalam kesarjanaan Androsentris. Feminis menyadari bahwa generalisasi pengalaman yang diasumsikan oleh metodologi androsentris lebih sering menunjukkan suatu persoalan tentang penafian atau pengabaian perempuan.

Feminis menuntut reorientasi fundamental dalam studi agama dengan dimasukkannya pengalaman perempuan dalam aspek analisis keagamaan dan teologis. Dalam mendeskripsikan pendekatan feminim dalam studi agama sebagaimana dikatakan Ursula King adalah sebagai pergeseran paradigma karena perlawanannya yang sangat hebat terhadap perspektif teoritis yang ada. Feminis tidak hanya menjelajahi fenomena keagamaan baru yang bertalian dengan perempuan, mereka juga menentang asumsi-asumsi akademis tentang bebas nilai dengan melakukan pengujian kembali atas materi-materi dan konsep-konsep lama dari sudut pandang gender dan relasi kekuasaan. Pengalaman perempuan menjadi bahan bakar prinsip kritis dari pendekatan feminis, menguji ontetisitas berbagai simbol keagamaan atau kerangka kerja, sejauh mana kemampuannya memajukan humanitas perempuan yang utuh. Seperti ditulis feminis Yahudi yaitu Judith Plaskow; “komitmen pada pengalaman perempuan “ secara tepat menandai suatu komitmen apriori terhadap humanitas perempuan. Ini merupakan perubahan metodologis feminis y ang fundamental.

Tokoh Teori dan pemikirannya

Ketika berbicara tentang tokoh teori feminisme, maka dalam makalah ini diwakili oleh seorang tokoh yang terkemuka dari feminis aliran liberalis. Yaitu dimana tradisi feminis liberal dimulai sejak tahun 1792, ketika Mery Wollstonecraft menerbitkan A Vindication of The Right of Women (1779). Masa itu merupakan periode “pemikir liberal” besar dan perkembangan teori kontrak sosial. Filosof filosof seperti Rosswou pada waktu itu menegaskan rasionalitas, bahwa laki-laki (man) mempunyai kapasitas akal budi untuk menguasai seluruh “kehidupan manusia” (mankind), tetapi wanita berdasarkan sifat-sifatnya mesti dibatasi pada pendidikan dan tugas rumah tangga. Mary Wollstonecraft, Apra Behn dan para penulis lainnya pada masa itu menekankan bahwa wanita mempunyai kapasitas akal budi juga, karena itu haknya dengan lelaki mesti disamakan (Spencer, 1983). Wollstonecraft lebih jauh menegaskan bahwa rendahnya intelektual wanita terjadi akibat kurangnyakualirtas pendidikan yang dihasilkan didalam kesempatan kesempatan yang tidak merata.

Femilis liberal tradisional selanjutnya dipengaruhioleh karya Harriet Tailor (The Enfrachisement of Women) dan John Stuart Mill (The Subjection of Women). Taylor akhirnya dinikahi oleh Mill. Namun Taylor meninggal sebelum Mill mempersembahkan karya tersebut untuk mengenang Harriet. Kenyataannya karya itu merupakan ulangan dari The Enfranchisement of Women, namun lebih sempit dan argumennya kuang konsisten dari pada esei aslinya yang ditulis oleh Harriet Taylor (Scewendinger, 1974).

Fokus karya Taylor dan Mill tersebut ialah kecakapan dan kemampuan wanita. Karya-karya itu mempertentangkan teori-teori yang menggangap wanita secara inheren inferior atau superior, bahwa perbedaan perbedaan intelektual dan emosional secara individual, khususnya dalam The Subjection Women, mill membela hak pilih wanita serta menegaskan hak wanita yang sama terhadap anak-anak mereka, kesamaan wanita yang menikah dihadapan hukum dan hak wanita yang menikah untuk mengontrol harta kekayaan mereka sendiri (Mill, 1972/1983).

Mill melacak penyebab penyebab penindasan wanita pada kebiasaan sikap pria secara individual. Disini fokusnya adalah bahwa para lelaki merupakan penindas pendidikan moral mereka yang tidak benar membuat mereka mengembangkan nafsu nafsu mementingkan diri sendiri untuk kuasa. Hal ini menciptakan manusia berpolitik (Political man), dengan keinginan untuk berkuasa dalam politik, ekonomi dan hubungan keluarga. Tidaklah mengherankan jika kemudian pemecahan Mill untuk penindasan wanita ialah melalui hukum dan moral. Ia mengusulkan peningkatan pendidikan bagi wanita dan saat Mill mempublikasikan The Subjection of Woman, informasi yang disajikannya hampir telah diketahui umum. Namun gagasan gagasan tersebut tidak mendapatkan perhatian, sampai ia mempublikasikannya.

Materi teori Feminis

Sejak tahun 1980, pertumbuhan dan diversifikasi pendekatan feminis dicirikan dengan upaya untuk menciptakan sumber materiil baru dan digunakannya paradigma kesarjanaan keagamaan yang baru, memperbaiki model andosentris sebelumnya dengan mengistimewakan perempuan. Beberapa feminis secara sistematis mengolah kembali konsep-konsep utama seluruh tradisi keagamaan.

Reinterpretasi feminis terhadap teks-teks keagamaan juga dipenuhi dengan “warisan simbol dan image. Pembacaan terhadap literatur suci Kristen, Yahudi, Islam dan agama-agama dunia lainnya tidak hanya melibatkan kesadaran terhadap muatan naratif, tetapi juga kesadaran atas seluruh proses hermeneutik atau interpretatif yang dengannya muatan itu dipahami sebagai hal yang normatif. Pengakuan atas pengakuan pengarang yang dimiliki laki-laki, transmisi dan kanonisasi kitab suci menjadikan pendekatan hermeneutik feminis Yahudi dan kristen sebagai pendekatan yang sangat mencurigakan (interpretation as exercise of suspicion). Milieu patriarkal teks injil tidak diperdebatkan, meskipun tidak seperti tokoh post-Yahudi dan post-Kristen, feminis reformis enggan memberikan misoginitas (kebencian terhadap perempuan) teks-teks Injil terbukti sebagai kata-kata yang menentukan. Mereka melanjutkan karya-karya tafsir abad-19 yang meyakini bahwa Injil memuat jalan-jalan yang pada akhirnya membebaskan perempuan (Connoly, 2002:80).

Pendekatan-pendekatan yang dipakai oleh kesarjanaan feminis adalah Pertama; terhadap materi Injil, revisi tekstual secara detail digunakan untuk menemukan kembali dan memperkuat suara perempuan dalam Injil yang tidak jelas, Kedua; mengacu kepada “tradisi kenabian Yesus” dalam Injil, sebuah tema dasar yang oleh feminis dinyatakan sebagai bukti kemampuan Injil memunculkan perspektif kritisisme diri terhadap patriarki dengan bersumber pada Injil sendiri, Ketiga; penemuan kembali sejarah keagamaan perempuan (dan ini kurang terkait dengan pendekatan keinjilan).

Pencarian feminis terhadap jalan keluar yang diperoleh kembali melalui bahasa sacred, literatur dan sejarah telah memungkinkan terjadinya dialog yang saling menguntungkan antara feminisme dan agama. Rekontruksi feminis terhadap agama tidak berhenti pada refleksi teoritis, tetapi bahkan berusaha memajukan dan terlibat dalam perubahan praktis. Perspektif feminis sejak kelahirannya dicirikan dengan identifikasi terbuka terhadap teori dan aksi, mengevaluasi otentisitas kebenaran keagamaan dengan melihat kemampuannya dalam mempengaruhi transformasi sosial dan politik. Hubungan antara teori dan praktek secara mendasar terbukti regeneratif. Eksklusif fisikal terhadap perempuan dari peran-peran peribadatan mendorong analisis teoritis berkenaan dengan dasar-dasar intelektual struktur religi patriarkis. Lingkaran itu menjadi sempurna ketika interpretasi-interpretasi feminis yang telah direvisi feedback kepada komunitas-komunitas yang sama, mendorong pembasmian seluruh cacat religius dan sosial yang dikenakan kepada perempuan (Connoly, 2002;86).

Tuntutan feminis yang mendasar dalam transformasi religius praktis adalah seruan terhadap pengakuan dan akses yang setara bagi perempuan untuk menjadi pemimpin-pemimpin yang ditahbiskan secara penuh bagi komunitas mereka (Connoly, 2002;86). Persoalan pentahbisan ini menjadi persoalan yang signifikansi untuk dibahas, seperti ulasan Sally Rabbi priesand dalam tulisan awalnya yang mengemukakan perdebatan utama feminis Yahudi tentang “eksklusi halakhik” perempuan dalam peribadatan publik. Tulisan Anne Bancorf yang menggambarkan kesulitan-kesulitan perempuan Budhist dalam mencapai pentahbisan yang utuh dalam madhab Therevada dan Mahayana, hal ini menunjukkan baik bagi pendeta Kristen, Rabbi dan guru. Pentabisan tetap menjadi simbol kunci bagi kedirian perempuan secara utuh.

Dalam beberapa hal ketika feminisme menunjukkan komitmen utama pada perlakuan secara adil terhadap perempuan dan menyerukan hubungan antara laki-laki dan perempuan yang kolaboratif dan egalitarian, maka sesungguhnya ini merupakan proyek etis. Etika feminis kembali menyatakan hubungan antara teori dan praktek keagamaan menegaskan bahwa antara refleksi moral privat dan agen moral publik saling terkait secara instrinsik. Etika feminis dicirikan dengan metafor pemeliharaan (metaphors of care), keterhubungan dan interdependensi. Dan fokus relasionalitasnya secara spesifik berkaitan dengan etika lingkungan feminis atau ekofeminisme (suatu wilayah penelitian keagamaan feminis yang mengalami perkembangan pesat) (Connoly, 2002;87-88).

Teori ekofeminisme ini dipengaruhi oleh filsafat spiritualisme ketimuran dan agama-agama mistik, serta pola hidup orang dahulu yang selaras dengan alam. Pandangannya antara lain, bahwa alam (mother nature) adalah sumber segala sesuatu dan bahwa manusia mempunyai esensi yang abadi yaitu kesadaran. Menurut ekofeminisme pula, kegagalan peradaban modern adalah karena manusia memuja Tuhan maskulin (the father God) dengan kualitas-kualitas maskulin seperti kuasa, aktif terpisah , independen, jauh dan dominan. Dan kurang memuja Tuhan feminim (the mother God) dengan kualitas-kualitas seperti dekat, kasih, penerima, pemelihara, pasif, berserah diri dan kualitas feminis lainnya (Murata, 1994;23).

Tokoh-tokoh feminis yang mendukung ekofeminisme ini adalah seperti Carol Christ, Vandana Shiva, Irene Diamond, Gloria Feman Orenstein, dan feminisme kristen seperti Ruether dan Anne Primaveri berusaha mencari sumber-sumber yang mendukung ekofeminisme yang efektif dalam tradisi Bibel (Connoly, 2002;89).

Dalam Islam, sebagaimana dikemukakan oleh tokoh feminis Indonesia yaitu Ratna Megawangi, bahwa dari apa yang diungkapkan oleh ekofeminisme dijelaskan secara sistematis dalam bukunya The Tao of Islamnya Sachiko Murata, meskipun tidak secara khusus membahas tentang gender. Sachiko menyatakan bahwa betapa para sufi zaman dulu sudah sering menganalisis realitas ketuhanan, hubungan Tuhan dengan manusia melalui prinsip-prinsip dualitas yang mirip ajaran Tao (yin-yang), misalnya feminim-maskulin yang komplementer bahkan tercermin dalam nama-nama Allah (Asma ‘Al-Husna). Kualitas yin, identik dengan nama keindahan dan kualitas yang identik dengan nama keagungan Tuhan. Dari hubungan dualitas nama-nama atau simbolisasi Tuhan itulah kemudian muncul keberagaman, perbedaan, keterpisahan yang semuanya menjelma dalam proses penciptaan alam raya sebagaimana makrokosmos dan manusia sebagai mikrokosmos. Dengan indahnya Sachico kemudian menjelaskan bagaimana dualitas itu menjadi satu kembali dan apa pula tujuan penampakan dualitas dari segala sesuatu; Tuhan- manusia, langit-bumi, siang-malam seta feminim-maskulin. Tak lain, karena Tuhan ingin menampakkan sebagian wajahNya bagi makhluknya.

Riset Feminis Dalam Sosiologi

Dalam tahun tahun terakhir ini, terdapat komotmen yang meningkat dalam riset dikalangan para sosiolog yang memperhatikan wanita dan persoalan persoalan wanita. Khususnya fokus literatur sosiologis belakangan ini pada peran peran jenis kelamin, bagian kehidupan startifikasi sosial dan pekerjaan menggambarkan suatu komitmen baru terhadap kehidupan wanita (Lopata, 1976). Sosiologi keluarga telah mengalami perubahan dramatis dari dikotomi instrumental atau ekspresif tradisional teori fungsional, menjadi melihat baik pada pola pola historis maupun perubahan perubahan kontemporer dengan alternatif baru model model dinamik (Thorne. 1982). Sosiologi pekerjaan telah mulai menganalisis riset yang dilakukan dibidang stratifikasi yang menggambarkan pemisahan jenis kelamin serta ketidaksimbangan sistem imbalan. Lagi pula, asumsi asumsi bersiifat jenis kelamin yang mendasari “partisipasi tenaga kerja upahan” jadi dipertanyakan, karena menjadi kelihatan, serta setiap pekerjaan yang didominasi kewanitaan segera akan digabungkan dengan pekerjaan pekerjaan kewanitaan yang lain. Dalam dua dekade terakhir ini juga telah mengalami perubahan dramatis dalam standar standar riset.

Banyak sekali contoh gambaran penelitian dengan menggunakan pendekatan teori feminisme ini, diantaranya yaitu sebagaimana yang diteliti oleh Mayling Oey yang berjudul Peranan Wanita sebagai pekerja industri di Indonesia, suatu gambaran perubahan dalam dasawarsa 1970 an. Kemudian penelitian Umar Kayam tentang Di Tengan himpitan budaya dunia, kehidupan pembantu rumah tangga wanita wanita Jawa (Makalah Seminar Nasional Wanita Indonesia,1984).

. Kritik Teori

Sesudah studi wanita dikembangkan secara pragmatis, makin semakin terasa bahwa dibidang ini diperlukan sebuah wawasan yang mantap yang dapat menghimpun berbagai hasil studi tentang wanita menjadi sebuah “Body of Knowledge”, sehingga semakin diperoleh pengetahuan yang komprehensif.

Studi wanita yang dilaksanakan bersifat multidisipliner, dengan demikian diperlukan teori yang lebih mendasar dimana hasil studi dari berbagai disiplin dapat benar-benar didudukkan. Meskipun berbagai teori ditampilkan dalam berbagai bidang ilmu, masih diperlukan suatu meta teori yang sekaligus teruji untuk menjadi wawasan yang mantap yang dapat memberi tempat pada segala hasil studi dan penelitian yang sifatnya hingga kini. Jika kemudian telaah filsafat yang mendapat tugas untuk menjabarkan meta teori tersebut, tetapi apakah pendekatan filsafat tersebut mampu dilaksanakan pada studi wanita yang mengambil wanita sebagai objek studi, padahal manusialah yang menjadi obyek hakikat universal, sedangkan wanita hanya merupakan sebuah bentuk partikular manusia.

Dengan demikian semakin relevan pada masalah wanita, tidak saja hanya menjadi obyek telaah filsafat tetapi obyek telaah ilmu sosial atau bahkan agama. Sehingga paradigma baru dapat diperoleh untuk studi wanita dan diperoleh sebagai endapan dari studi wanita interdisipliner dan internasional, yaitu suatu wawasan yang cukup mantap untuk mengatasi berbagai praduga yang menyangkut studi wanita ini, baik apabila dikaitkan dengan ideologi yang disebut feminisme maupun gerakan yang disebut gerakan pembebasan wanita.

Perspektif Islam

Meskipun feminis Yahudi dan Kristen banyak digambarkan dengan baik karena kontribusinya dalam pengembangan proyek feminis, namun dalam makalah ini dicoba penggambaran sedikit dalam perspektif Islam.

Jika mengaitkan isu kesetaraan gender dengan agama, menurut Budi Munawar-Rahman, 1998;1) maka permasalahan ini bisa dianalisis dari dua sudut, yaitu pertama; Memakai analisis gender (dalam hal ini ilmu-ilmu sosial) kepada teks-teks Islam terutama Al-Qur’an dan Hadis, seperti yang dilakukan oleh para feminis muslim selama ini yang menafsirkannya sesuai dengan visi baru kesetaraan dan kemudian mengkonfrontasikannya dengan penafsiran yang ada yang telah mapan. Atau kedua; Melihat persoalan gender dari sudut pandang keilmuan Islam itu sendiri, jadi analisnya bukan dari sudut pandang sosiologi, tetapi dari sudut pandang agama. Islam itu sendiri yang mempunyai corak yang khas dan telah dipaik selama berabad-abad secara tradisional. Analisis gender keislaman ini banyak dilakukan khususnya oleh para sufi.

Dalam konteks dua cara analisis diatas maka pemakaian hermeneutiknyapun berbeda. Yang pertama; analisis gender atas teks-teks Islam dengan memakai interpretation as exercise of suspicion (penafsiran sebagai latihan kecurigaan). Demistifikasi dilakukan atas simbol-simbol keagamaan yang berkaitan dengan persoalan gender. Dicari suatu penjelas mengapa ketidaksetaraan gender tersebut, bahkan teks-teks keagamaan yang kelihatannya seksis dan misoginitas yang termuat dalam teks-teks Islam. Dalam analisis gender ini, asumsinya jelas datang dari luar; suatu visi yang berkaitan dengan feminisme yang ingin membangun masyarakat berdasarkan kesetaraan gender dipakai untuk membaca, menerangi dan selanjutnya mencurigai teks-teks itu. Tetapi visi yang datang dari luar ini, dipakai untuk nantinya ditunjukkan bahwa dari dalam teks sendiri visi kesetaraan ini memang implisit termuat dalam teks itu dan sekarang bisa terlihat setelah dilakukan pembongkaran.

Pemakaian jenis hermeneutika kedua dalam analisis gender yang dilakukan dari sudut pandang keilmuan Islam adalah yang memberikan tekanan interpretation as recollection of meaning (penafsiran sebagai pengingatan kembali makna). Disini diterapkan suatu lingkaran hermeneutik yang oleh Ricouer disebut “Believe in order to understand, understand in order to believe”. Berkebalikan dari ‘kecurigaan’ sebagai hal yang penting dalam jenis hermeneutics of suspicion, iman (faith) adalah hal yang penting dalam keseluruhan proses recollection of meaning ini. Karena iman menyangkut pintu masuk kepada makna yang paling mendalam dari suatu visi teks-teks, khususnya teks-teks sakral yang memang memuat suatu makna sampai yang paling batin.
Model tafsir feminis: Interpretation as exercise of suspicion.

Dalam menganalisis usaha esar kaum feminis Muslim dalam membangun suatu masyarakat muslim yang bebas gender, ada beberapa penafsiran atas teks-teks suci yang menjadi pokok perhatian mereka. Diantaranya yang paling esensi menyangkut ayat yang berkaitan dengan pusat kehidupan perempuan pada laki-laki. Dimana laki-laki dipandang mempunyai hak yang lebih dibandingkan isterinya, sehingga ketaatan isteri nyaris mutlak terhadap suami. Dasar kelebihan hak ini dipandang dari kewajiban suami memberikan nafkah, sehingga laki-laki diperbolehkan agama untuk “mencari kesenangan lain” dengan poligami, sementara perempuan tidak. Lebih lanjut seperti yang tertera dalam kitab klasik yang banyak menjadi rujukan di pesantren-pesantren yaitu; ‘Uqudud-ul Lujjainfi Bayan Huquqi Zaujian’ menafsirkan bahwa keselamatan perempuan tergantung pada laki-laki, karena didasarkan kepada hadis: “sesungguhnya seorang istri belum terhitung memenuhi hak-hak Allah SWT, sehingga ia memenuhi hak-hak suaminya” (Muhsin, 1994:23).

Banyak ayat Al-Qur’an dan hadis yang sering dipakai sebagai dasar dari ketergantungan keselamatan perempuan secara teologis kepada laki-laki. Karena itu dalam usaha mencari kesetaraan gender berdasarkan ide semangat kesetaraan yang oleh kalangan feminis dianggap merupakan pesan dasar Al-Qur’an, maka dipertanyakanlah apa saja yang berkaitan dengan adanya ‘struktur pusat’, dalam hal ini pandangan teologi mengenai laki-laki dalam Islam. Laki-laki dalam Islam ternyata mempunyai hak satu tingkat lebih tinggi dari perempuan. Ayat Al-Qur’an yang mendasarinya adalah “Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum perempuan….” (QS. An-Nisa;34). Seluruh ketidak adilan gender dapat dibenarkan oleh kaum tradisional Islam.

Riffat Hasan maupun Fatima Mernissi (tokoh feminis muslim) dalam bukunya setara dihadapan Allah (1999;32) lebih jauh menelusuri mengenai penciptaan Hawa (yang dari tulang rusuk Adam) dan latar belakang turunnnya pasangan ini ke bumi, membawa implikasi jauh kedalam kehidupan banyak wanita dimuka bumi dari sisi pandang agama. Menurut Fatima Mernissi hal itu membawa dampak,pertama; agama seolah mengatakan, Hawa diciptakan untuk memenuhi kebutuhan dan selera Adam. Kedua; Hawa secara biologis lebih rendah tingkatnya dari pada Adam. Dan ketiga; bahwa Hawalah yang menyebabkan Adam terusir dari Surga, itulah konon konsep awal yang mendasari diskriminasi wanita dalam agama. Sedangkan Riffat Hasan memandang bahwa jika Hawa adalah seconday creation karena tercipta dari tulang rusuk Adam, maka akan bisa dibenarkan argumen supremasi atas perempuan. Dalam turunannya selanjutnya akan dibenarkan ketidak setaraan gender dalam hal soal-soal yang kontroversial dan telah menjadi bahan diskusi dan polemik diantra para feminis muslim, yaitu persoalan pembagian waris, saksi, perkawinan dan kepemimpinan perempuan dalam ibadah dan kehidupan sosial politik.

Dalam pembacaan atas teks-teks tradisional, akan diketahuilah bahwa fungsi perempuan dalam kehidupan laki-laki adalah terutama sebagai teman seksual laki-laki, walaupun sebenarnya sama sekali tidak terkait dengan ketakwaan. Karena pada akhirnya dihadapan Tuhan, ukuran ketakwaan bukanlah peranan gender dalam kehidupan sosial, dalam bahasa Al-Qur’an tertera dalam QS. Al-Ahzab;35.
Menurut Budy Munawar-Rachman (1998;10) sebenarnya ketidak setaraan gender hanyalah soal kehidupan sosial saja, tidak berkaitan dengan soal keruhanian. Tetapi kadang-kadang para penafsir, karena kecenderungan dan prasangka misoginitas (kebencian terhadap perempuan), sering melebih-lebihkan apa yang Al-Qur’an sendiri tegaskan secara literal. Soal ketidaksetaraan gender hanyalah soal fungsional dalam kehidupan sosial. Tetapi justru ketidaksetaraan gender secara sosial inilah yang menjadi pertanyaan kaum feminis Muslim; “Kalau dihadapan Allah laki-laki dan perempuan adalah setara, mengapa dihadapan manusia malah tidak?

Bagi kaum feminis, pertanyaan itu memunculkan suatu usaha dekonstruksi, justru untuk suatu proses rekonstruksi baru penafsiran Islam yang lebih adil secara gender. Untuk itu dicarilah jejak-jejak pandangan dunia yang telah mengakibatkan ketidakadilan sosial secara gender itu. Asal-usulnya, seperti halnya diketahui dalam teori feminisme, rupanya muncul dari prasangka misoginitas dan suatu pandangan dunia patriarki, yang menjadi suatu visi umum kehidupan masyarakat. Sikap misoginitas dan pandangan dunia patriarki ini selanjutnya, sadar ataupun tidak sadar masuk kedalam penafsiran keagamaan. Dan dianalisalah bagaimana bentuk-bentuk patriarki dalam penafsiran keagamaan telah dipelihara dan dilegitimasikan dalam suatu penafsiran teks. Maka suatu penafsiran teks tradisional perlu dicurigai untuk selanjutnya dibongkar.

Dan inilah yang mewarnai tulisan-tulisan para feminis muslim seperti Amina Wahdud Muhsin, Asghar Ali, Warda Hafidz, Nazardin Umar dan sebagainya. Dekonstruksi atas penafsiran teks begitu penting bagi kalangan feminis ini, justru untuk “konstruksi ulang” yang menjadi usaha serius perhatian mereka. Dekonstruksi atas penafsiran teks-teks Islam menyangkut perempuan ini begitu penting justru sebagai “exercise of suspicion” itu.Dalam rangka penerapan ini metode kecurigaan ini, apa saja metodologi ilmu-ilmu sosial dan filsafat yang bisa dipakai, perlulah dipakai. Pokoknya tercapai pembongkaran, dari sini dimulailah suatu penafsiran baru berdasarkan suatu visi kesetaraan gender yang adil. Semua argmen supremasi atas perempuan harus dicurigai, walaupun itu adalah teks-teks suci secara literal memang memperlihatkan ketidaksetaraan.

Model-model varian penafsiran yang menonjol dari kalangan cendekiawan Muslim adalah antara lain:
Penafsiran Feminis Reformis. Penafsiran yang digunakan disini adalah dengan penafsiran teks. Teks-teks otoritarif keagamaan tidak dengan sendirinya bisa ditangkap maknanya secara langsung, tanpa adanya penafsiran. Maka wacana penafsiranlah yang perlu dilihat apakah sudah memadai atau tidak dalam suatu visi tertentu yang dibelanya dan termuat dalam teks-teks otoritatif ini. Begitulah agenda hermeneutis kalangan reformis ini, dibuat menyangkut persoalan gender.
Penafsiran FeminisTransformis. Tujuan kaum feminis transformis ini adalah menstransformasikan tradisi, tetapi tetap mempergunakan metodologi hermeneutis klasik Islam yang dikenal dalam wacana Islam tradisional. Dasar-dasar liberal kalangan transformis ini sudah tertanam dalam wacana liberal klasik Islam. Dalam agenda feminis, misalnya istilah atas ayat-ayat Al-qur’an yang muhkamat dan yang mutasyabihat perlu dibedakan betul. Metodologi hermeneutis ini didukung oleh Al-Qur’an sendiri dalam Qs. Ali Imran:7. Dalam penafsiran kaum feminis transformis ini, begitu penting pembedaan antara; (1) inti atau dasr dari kitab (2) bagian yang bersifat tamsil dan kiasan. Dalam soal yang kedua terbuka lebarlah ruang penafsiran yang justru telah menimbulkan madhab-madhab dalam Islam.

Penafsiran Feminis rasionalis. Model hermeneutis kalangan feminis rasionalis ini berangkat dari suatu keyakinan bahwa visi Al-qur’an adalah keadilan. Seluruh ayat-ayat dalam Al-qur’an pada dasrnya membawa wacana keadilan dan kesetarann gender ini. Tetapi keadilan dan kesetaraan gender itu bukan sesuatu yang abstrak. Keadilan dan kesetaraan gender sering muncul dalm suatu penghadapan masalah. Karena itu dalam banyak ayat keadilan ini sering bersifat kontekstual. Buku-buku Riffat hassan banyak menyuarakan visi feminis rasionalis ini.

Sebenarnya masih ada lagi suatu pandangan dari kaum feminis muslim yang rejectionistic, yang dari awal tidak seperti para hermeneut muslim lain, sudah menganggap bahwa memang ada ayat-ayat Al-Qur’an berkaitan dengan perempuan yang misoginitas dan seksis. Tokohnya adalah Desi Tasleema Nasreen. Fatima Mernissi menurut Budhy Munawar-Rohman juga termasuk kaum feminis yang rejecsionis, tetapi tidak berkaitan dengan ayat-ayat Al-Qur’an, melainkan dengan hadis-hadis yang disebutnya “hadis-hadis misoginis dan ini dijelaskannya dengan gamblang dalam bukunya Wanita didalam Islam (Pustaka; 1994), dimana ia menyatakan bahwa hadis-hadis yang selalu dipakai untuk melegitimasikan ketidaksetaraan gender ini, masuk kepada hadis-hadis yang lemah dan karena itu kita harus menolaknya.

Kesimpulan

Feminisme dapat dilihat sebagai dua perspektif, dimana satu sisi berlaku sebagai teori dan satu sisi sebagai gerakan. Feminisme secara teoritis adalah perjuangan perlawanan perempuan sebagai alat untuk menjelaskan adanya fenomena terhadap beragam bentuk diskriminasi sosial, personal atau ekonomi, dimana perempuan sebagai pihak yang menderita karena jenis kelaminnya. Sedangkan feminisme sebagai social movement (gerakan) adalah tuntutan perempuan akan emansipasi, sebagai aksi dari fenomena-fenomena yang terjadi pada perempuan.

Feminisme bukan fenomena tunggal, sebaliknya dalam sejarah feminisme muncul dalam berbagai latar belakang warna, diantaranya feminisme liberal yang stressing kajiannya adalah pemberdayaan perempuan, dengan mengangkat isu bahwa perempuan harus lebih ditingkatkan educationnya, feminisme radikal dimana memandangbahwa diskriminasi perempuan adalah karena alasan kultural. Sedangkan feminisme marxian memandang bahwa karena strukturallah yang menyebabkan perempuan termaginalkan.

Studi agama yang dilakukan kaum feminis telah membongkar realitas seksisme dalam setiap aspek kajian keagamaan dan teologis. Dalam suatu rangkaian perdebatan yang hidup dan kreatif. Keahlian dekonstruksi yang diasah oleh feminis menundukkan simbolisme keagamaan, bahasa, literatur, sejarah dan doktrin pada penelitian yang kritis dan menyeluruh.

Feminis religius mencerminkan sejumlah concern yang secara tipikal didefinisikan sebagai postmodernis, memaksakan kesadaran akan perlunya kajian yang dikondisikan secara sosial dan historis, kritisisme diri dan perlawanan terhadap dominasi teori-teori besar atau metanaratif. Sebagai hasilnya pendekatan feminis telaah dan terus berfungsi sebagai suatu percobaan untuk menguji kemampuan agama. Mendefinisikan kebermaknaannya sendiri dalam konteks pluralis kontemporer dan menghadapi tantangan post-modernitas.

Daftar Pustaka
Thomas S. Kuhn, 1997. The Essential Tensin. Chicago. The University of Chicago. Carol C Gould and Marx W. Wartoesky. 1976. Woman and Philosophy. Toward a Theory of Liberation. New York. Capricorn Books.
Lopata H. Z. 1976. Sosiology “Sighn”
Thorne B. 1982. Feminist Rethinking of The Family An Overview. New York. Longman
Chafetz. J. S. 1998. Feminist Sociology An Overview of Contemporary Theories. Itasca. IL. Peacock.
Gross E dan C. Pateman. 1986. Feminist Challenge Social and Political Theory. Boston. Northeastern University Press.
Peter Connly, 2002. Aneka pendekatan Studi Agama. Yogyakarta: LkiS.
Jane C. Ollenburger dan Helen A. Moore, 1996. Sosiologi Wanita. Jakarta:Rineka Cipta.
Hibbah Rauf Izzat, 1997. Wanita dan Politik, Pandangan Islam. Bandung:Remaja RosdaKarya.
Sue Morgan, 2002. Agama Empiris Agama Dalam Pergumulan Realitas Sosial, Yogyakarta:Pustaka Pelajar.
Nawal el-Sadawi, 1980. The Hidden Face of Eve. London: Zed Press.
Ivan A. Hadar, 1989. Permasalahan Gender dalam Pengembangan Masyarakat, no;2. Vol.iv; Jakarta:Pesantren.
Umar Kayam, 1986. Karier untuk Apa, Yogyakarta:Prima seminars.
Amina Wadud Muhsin, 1994. Wanita didalam Al-Qur’an, Bandung:Pustaka Pelajar.
Riffat Hasan, Setara dihadapan Allah, Yogyakarta:LSPPA. Yayasan prakarsa.
Fatima mernissi, 1996. Pemberontakan Wanita, Bandung: Mizan.
-------------------, 1994, Wanita didalam Islam, Bandung: Pustaka.
Budhy Munawar Rahman, 1998. Kesetaraan Gender dalam Islam, Persoalan Ketegangan Hermeneutik, Yogyakarta.
Majalah Pengetahuan Agama (MPA). Emansipasi Wanita, Edisi 115/April 1996.
Sachiko Murata, 1990. The Tao of Islam, Bandung: Mizan